Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Jumat, 11 Maret 2016

Antara Jual Beli dan Persewaan

Para Ulama berselisih pendapat tentang jual beli dan persewaan sekaligus dalm satu perjanjian (Akad). Imam Malik dan para pengikutnya membolehkan, tetapi fuqaha Kufah dan Imam Syafi’I Melarangnya, karena dalam kondisi seperti itu mereka berangapan bahwa harganya idak diketahui.
Imam Malik berpendapat bahwa jika persewaan itu diketahui, maka harganya pun bisa diketahui. Boleh jadi, fuqaha yang melarang jual beli dalam satu jual beli. Fuqaha sepakat bahwa peminjaman atau jual beli tidak dibolehkan sebagaimana telah kami katakan.
Tetapi mengenai kebolehan peminjaman dan perserikatan dagang, Imam Malik tidak tegas pendapatnya. Terkadang membolehkan dan terkadang melarangnya.

Sebab perselisihan endapat ulama dalam seluruh persoalan tersebut adalh perbedaan sedikit banyaknya alasan-alasan larangan yang tegas ketentuan nashnya. Fuqaha yang menganggap alasan larangan pada suatu masalah itu kuat akan melarangnya. Sedang mereka yang tidak menganggap ketentuan nashnya uat akan membolehkannya. Masalah ini kembali kepada ketajaman perasaan mujtahid, lantaran masalah tersebut jika diselidiki bisa terjadi perlawanan pendaat yang sama kuatnya. Mungki, menghadapi persoalan-persoalan seperti itu pendapat yang benar adalah yang megangggap bahwa tiappendapat mujtahid itu benar. Itu sebabnya mengapa dalam persoalan-pesoalan seperti itu, sebagian ulama memberi kebebasan untuk memilih beberapa pendapat atas itu.

Hukum Cacat Sebelum Barang yang Dijual Mengalami Perubahan

Jika terdapat cacat pada barang yang dijual, sedang barang tersebut tidak mengalami perubahan, karena cacat itu terjadi ketika barang berada di tangan pembeli, maka terkadang cacat tersebut terdapat pada barang tetap (tak bergerak), barang dagangan yang bergerak, atau hewan. Jika terdapat pada hewan, maka tidak dapat diperselisihkan lagi, dalam arti si pembeli boleh memilih antara mengemmbalikan hewan yang dibelinya itu atau mengambil kembali harganya, atau tetap memegangi barang tersebut dengan tidak memperoleh ganti rugi apapun.
Tetapi jika cacat tersebut terdapat pada barang tak bergerak, maka dalam hal ini Imam Malik memisahkan antara cacat yang sedikit dengan cacat yang banyak. Ia berkata bahwa jika cacat itu sedikit, maka tidak ada keharusan untuk mengembalikan, dan tanpa klaim kerugian. Tapi jika cacatnya parah, maka pembeli harus mengembalikan barang-barang itu dengan klaim harga  yang sudah terbayar secara sempurna. Itulah pendapat yang masyhur dan terdapat pada khithab para pengikutnya. Sedang para ulama Maliki Baghdad tidak melakukan rincian seperti itu.
Tentang barang dagangan yang bergerak, maka pendapat yang mahsyur dalam mazhab Maliki menyatakan bahwa barang tersebut ketentuannya tidak sama dengan barang yang tidak bergerak (pokok). Tetapi dalam mazhab Maliki disebutkan ulama tentang kesamaannya dengan barang pokok. Dan inilah yang menjadi pilihan al-Faqih Abu Bakar bin Rizq, guru nenek saya almarhum.
Ia berkata: bahwa dalam hal ini tidak ada pemisahan antara barang pokok yang tak bergerak dengan barang dagangan yang bergerak. Perkataan tersebut merupakan pengkat bagi fuqaha yang memisahkan antara cacat yang besar dengan cacat yang kecil (sedikit) pada barang-barang pokok (tak bergerak). Yakni, bahwa dalam hal ini ia juga melakukan pemisahan seperti itu pada barag-barang dagangan (yang bergerak).
Pada prinsipnya, semua yang menyebabkan berkurangnya harga harus pula menjadi sebab dikembalikannya barang. Ini pendapat yang dipegangi oleh fuqaha amshar. Karena itu para ulama Baghdad tidak memegangi pemisahan yang jarang terjadi pada baran-barang yang tidak begerak. Dalam masalah hewan, mereka tidak lagi berselisih pendapat. Yakni tidak ada perbedaan antara cacat yang sedikit dengan cacat yang banyak.
Karena telah kami katakan bahwa pembeli dibolehkan memilih antara mengembalikan barang yang telah dibeli dan mengamil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh ganti rugi apapun. Jika kedua pihak sepakat bahwa pembeli tetap memegangi barangnya, sedan penjual memberikan gani rugi cacatnya, maka kebanyakan fuqaha amshar membolehkannya. Kecuali Ibnu Suraij dari kalangan pengikut Syafi’I yang mengatakan bahwa kedua belah pihak tidak bole melakukan demikian. Sebab, hal itu termasuk khiyar dalam harta benda. Maka, bagi pembeli tidak ada pengguguran harta tersebut dengan satu imbalan, seperti khiyar syuf’ah.
Al-Qadhi Abdul Wahhab berkata bahwa pendapat ini salah, karena yang demikian itu hak pembeli, konsekuensinya dia berhak menuntutnya. Yakni ia boleh mengembalikan dan mengambil kembali harganya, dan dia juga boleh membiarkannya dengan mendapat imbalan dari cacat tersebut. Tentang khiyar syuf’ah yang menurut pendapat kami pembeli bisa membiarkan barang yang dibelinya dengan imbalan yang diambilnya. Dan masalah ini tidak diperselisihkan lagi.

Tentang Wakalah

Didalam wakalah ada 3 bab, bab 1 rukun wakalah yaitu sesuatu yang diwakili dan orang yang mewakili, bab 2 menjelaskan hukum wakalah, bab 3 menjelaskan perbedaan orang yang mewakili dan diwakili.
Bab 1 yaitu rkun wakalah. Yaitu melihat sesuatu yang diwakili dan mewakili dan melihatorang yang diwakili (rukun pertama orang yang mewakili). Ulama sepakat membolehkan meawkili orang gaib dan orang sakit dan perempuan yang punya beberapa perkara yang ada dalam dirinya. Dan para ulama berbeda pendapat tentang mewakilkan orang yang hadir. Imam malik berkata membolehkan mewakilkan orang yang hadir tetapi menurut Imam Syafi’I dan Hanafi tidak memperbolehkan mewakilkan orang yang hadir dan perempuan, kecuali perempuan itu cerdas.
Maka barang siapa yang berpendapat barang asal itu tidak bisa menggantikan pekerjaan orang lain dari orang lain, kecuali ada darurat. Ulama sepakat tidak diperbolehkan menggantikan seseorang yan diperdebatkan. Dan barang siapa menganggap bahwa hukum asal itu diperbolehkan. Ulama berpendapat mewakilkan sesuatu itu diperbolehkan, kecuali perkara yang tidak diperbolehkannya, seperti mewakilkan ibadah dan seterusnya.
(Rukun kedua adalah wakil). Syarat wakil itu tidak boleh orang yang tercegah oleh syarat, ketika transaksi sesuatu, anak kecil yang diwakilkan. Maka tidak sah mewakilkan pada orang gila. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat tidak sah mewakilkan pada akad nikah, sedangkan menurut imam Syafi’I tidak sah secara langsung dan perantara. Dengan mewakilkan pada orang yang menguasai akad nikah itu boleh. Tetapi menurut Imam Maliki dengan perantara laki-laki
(Rukun ketiga adalah orang yang diwakili). Disyaratkan sesuatuyang diwakili harus menrima untuk digantikan misal jual beli, hiwalah, fasakh, syirkah, musharifah, muja’alah, musaqah, talak, nikah, khulu’, sholakh, dan tidak diwakilkan didalam ibadah badan dan diperbolehkan mewakilkan harta. Seperti shadaqa, zakat, haji. Dan diperbolehkan menurut Imam Maliki pada permusuhan atas pengakuan dan pengingkaran dan Imam Syafi’I berpendapat diantar dua pendapat Imam tidak diperbolehkan pada engakuan itumenyamai perwakilan persaksian dan sumpah. Dan diperbolehkan wakalah            saksi menurut Imam Malik. Dan menurut Imam Syafi’I seperti adanya. Dua pendapat berpendapat wakalah diperbolehkan mereka atas pengakuan. Dan terjadi perbedaan pendapat tentang mewakilkan permusuhan. Apakah mereka mencakup pengakuan atau tidak? Maka Imam Malik berpendapat tidak mencakup.

(Rukun keempat). Wakalah adalah akad yang wajib ada ijab qabul seperti akad lainnya, tetapi wakalah itu akad yang tetap bahkan diperbolehkan atas perkara dalam hukum yang sudah dijelaskan hukum akad ini. Ada dua pendapat menurut Imam Malik, umum dan khusus. Jika umum, yaitu mewakili sesuatu yang umu. Sesuatu yang ditentukan sesuatunya. Jika disebukan maka tidak umum. Dan Imam Syafi’I berpendapat tidak diperbolehkan mewakilkan sesuatu yang umum karena tipu menipu. Dan sesungguhnya diperbolehkan sesuatu yang disebutkan dan menjelaskna sesuatu tersebut. Dan menqiyaskan ketika asalnya itu dicegah. Kecuali sesuatu yang disepakati.

Hikmah Shalat Qashar

Ketahuilah bahwa shalat disyariatkan nabi saw masih di Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Dan, ketika di Madinah, salat yang dua rakat ditambah menjadi empat rakaat. Adapun ikmah menqashar shalat dari empat rakaat menjadi dua rakaat (Selain shalat tiga rakaat dan dua rakaat) adalah karena shalat yang empat-empat rakaat dapat dibagi dua-dua sehingga yang empat menjadi dua rakaat adapun shalat yang tiga rakaat tidak dapat dibagi menjadi dua bagian. Talah diriwayatkan bahwa ia (shalat maghrib) merupakan witirnya siang hari karena terletak setelah siang hari. Atas dasar itu kalau hilang sepertiganya, maka akan hilang dari kategori witir atau ganjil yang karenanya disyariatkan tiga rakaat dan dia tidak mngkin untuk dibagi dua karena jika dibagi akan keluarlah dia dari batasan witir.
Aisyah berkata, “shalat disyariatkan pada mulanya dua rakaat dan kemudian ditetapkan demikian pada shalat safar dan ditambah pada shalat mukim.”
Dari sini dapat kita pahami bahwa mengqashar shalat pada dasarnya  bersifat hkmi tidak hakiki. Ibnu Abbas Berkata “Allah tela mewajibkan melalui lisan Nabimu sekalian bahwa shalat bagi yang mukim adalah empat rakaat dan bagi musafir dua rakaat.”
Karena shalat shubuh hanya terdiri dari dua rakaat, maka ia tidak termasuk dalam hukum shalat qashar karena menghilangkan separonya sama dengan meniadakannya. Dan, juga belum ditemukan  dalam syariat suatu perintah shalat dalam satu rakaat saja.

Inilah diantara hikmah mengqashar shalat yang empat-empat rakaat tanpa tiga-tiga dan dua-dua. Dan, itu merupakan qashar hukmi bukan hakiki.