Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Selasa, 27 November 2012

Makna Tarekat Versi 2


A.             Makna Tarekat

Asal kata “tarekat” dalam bahasa arab adalah “ariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu.[1] Tarekat adalah jalan, yang ditempuh para sufi, dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut hariq. Kata turunan ini menunjukan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap umat muslim. Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak di taati terlebih dahulu dengan seksama.[2]
Menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata ariqah, yang artinya jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. ariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarikat mempunyai syaikh, upacara ritual, dan bentuk dzikir sendiri.[3] Sejalan dengan ini, Martin Van Bruinessen menyatakan istilah “tarekat” paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. Maknanya yang asli merupakan paduan yang khas dari doktrin, metode dan ritual. Akan tetapi, istilah ini pun sering dipakai untuk mengacu  pada organisasi yang menyatukan pengikut-pengikut “jalan” tertentu. Di Timur Tengah, istilah “ta’ifah” terkadang lebih disukai untuk organisasi, sehingga lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, di Indonesia kata “tarekat” mengacu pada keduanya.[4] Menurut L. Massignon, sebagaimana dikutp oleh Aboe Bakar Atjeh, ariqah dikalangan sufi mempunyai dua pengertian. Pertama, cara mendidik akhlak dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. Arti seperti ini dipergunakan oleh kaum sufi pada abad ke-9 dan ke-10 M. Kedua, ariqah berarti suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani dalam segolongan orang islam menurut ajaran dan keyakinan tertentu.[5]


B.             Sejarah Perkembangan Tarekat
Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat mempelajarinya. Untuk itu,mereka menemui orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam pengalaman tasawuf yang dapat menuntun mereka. Sebab, belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal adalah suatu keharusan bagi mereka. Sistem pengajaran itulah yang kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakan nya dari tarekat lain.[6]
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui pasti. Namun, Harun Nasution menyatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf  mulai berkembang di dunia melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Tempat  berkumpul untuk melestarikan ajaran tasawuf , entah itu dari walinya atau pun syaikh disebut ribat.[7]  Dr.Kamil Musthafa Asy-Syibi menyatakan bahwa tokoh pertama yang memperkenalakan sistm tarekat adalah Syekh Abdul Qadir Al-jailani di Baghdad, sayyid Ahmad Ar-rifai’I di Mesir dengan tarekat Rifa’iyyah dan jalal ad-Din Ar-Rumi di Parsi.[8]
Sejarah Islam menunjukan bahwa tarekat berkembang pesat  pada abad ke-12 (abad ke 6 H). Tarekat-tarekat tampak memegang peranan yang cukup besar dalam menjaga eksistensi dan ketahanan umat Islam, setelah mereka dilabrak secara mengerikan oleh gelombang-gelombang serbuan tentara Tartar. Sejak penghancuran demi penghancuran yang dilakukan oleh tentara-tentara tartar itu, Islam yang diperkirakan akan lenyap, tatap mampu bertahan bahkan dapat mengambil hati mereka dan memasuki daerah-daerah baru. Sejak kehancuran kota Baghdad, para anggota tarekatlah yang berperan dalam penyebaran Islam. Sampai akhirnya pengaruh tarekat mulai mengalami kemunduran akibat adanya pengaruh-pengaruh tarekat yang buruk.[9]
Pada awal kemunculan nya, tarekat berkembang dari dua daerah yaitu khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai timbul beberapa diantaranya;
1.    Tarekat Yasaviyah,didirikan oleh Ahmad Al-Yasavi yang disusul oleh tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani. Kedua tarekat ini menganut paham tasawuf Abu yazid Al-Bustami. Tarekat ini berkembang ke berbagai daerah, antara lain Turki. Disana, tarekat ini berganti nama menjadi tarekat  Bekhtasiya yang diidentikan kepada pendirinya yaitu Muhammad ‘ata’. Tarekat ini sangat popular dan pernah memegang peranan penting di Turki yang dikenal dengan Korp jenissari.
2.    Tarekat Naqsabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari  di Turkistan. Tarekat ini berkembang hingga ke Anatolia(Turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia.
3.    Tarekat Qodiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Al-jailani. Mempunyai penganut di Irak, Turki, Turkestan, Sudan, Cina, India dan Indonesia.
4.    Tarekat Khalwatiyah, didirikan oleh Umar Al-Khalwati. Tarekat ini merupakan salah satu tarekat yang terkenal sehingga berkembang hingga ke berbagai Negara seperti Turki, Syiria, Mesir, Hijaz dan Yaman.
5.    Tarekat ikan Syattariyah, didirikan oleh Syekh Abdulllah Asy-Syattari. Mempunyai pengikut dari India dan Indonesia.[10]
Perkembangan tarekat dibagi oleh Harun Nasution menjadi tiga yaitu:
1.      Tahap Khanaqah
Terjadi pada abad ke-10 M, para syekh mempunyai sejumlah murid yang hidup secara bersama-sama di bawah peraturan yang tidak terlalu ketat. Syekh menjadi murshid yang dipatuhi. Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan kolektif. Ini terjadi sekitar abad ke 10 M
2.      Tahap tariqah
Terjadi pada abad ke-13 M. Di tahap ini ajaran-ajaran, peraturan, dan metode-metode tasawuf di tarekat telah dimapankan. Juga muncul pusat pengajaran tasawuf dengan silsilahnya masing-masing
3.      Tahap Taifah
Terjadi sekitar abad ke-15 M. Di sini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Muncul juga tarekat dengan cabang-cabang di tempat lain. Di tahap ini tarekat memiliki makna sebagai organisasi sufi yang melestarikanya



[1] Luis Makluf, Al-Munjid fi Al_Lughat wa Al-A’lam,(Beirut:Dar Al-masyriq,1986),hlm.465.
[2] Annemarie Schimel,Dimensi Mistik dalam Islam,terj.Supardi Djoko Damono dkk.,dari Mystical Dimension of Isalam (1975),(Jakarta:Pustaka Firdaus,1986),hlm.101.
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta:Press,1986),jilid 2,hlm.89.
[4] Martin Van bruinessen,Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia,(Bandung:Mizan,1994),hlm.61.
[5] Aboe Bakar Atjeh,Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf,(Solo:Ramdhani,1984),hlm.63.
[6] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung : CV. Pustaka Setia,2009),hlm.203-204.
[7] Solihin dan Rosihon Anwar,Ilmu Tasawuf,(Bandung:CV.PustakaSetia,2011),hlm. 207.
[8] Solihin dan Rosihon Anwar,Ilmu Tasawuf,(Bandung:CV.PustakaSetia,2011), hlm.  207.
[9] Rosihon Anwar,Akhlak Tasawuf, (Bandung : CV. Pustaka Setia,2009),hlm. 204-205.
[10] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin,Ilmu Tasawuf,(Bandung:CV Pustaka Setia,2004),hlm.168.

Hubungan tasawuf dengan filsafat dan syari'at (fiqh)


A.      HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FILASAFAT
Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur, harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roph, di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagis kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Akan tetapi, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasawuf, tetapi tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhn jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan di situ tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu (qalb, hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.[1]
B.       HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI’AT (FIQH)
Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqh selalu dimulai dari thaharah (tata cara bersuci), kemudian persoalan-persoalan fiqh lainnya. Akan tetapi, pembahasan ilmu fiqh tentang thaharah  atau lainnya tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Padahal, thaharah akan terasa lebih bermakna jika disertai pemahaman rohaniahnya.
Persoalan sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqh dalam persoalan-persoalan tersebut? Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu fiqh. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya msing-masing. Bahkan, ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia unuk melaksanakan hukum-hukum fiqh. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Ma’rifat secara rasa (al-ma’rifat adz-dzauqiyahi) terhadap Allaaah SWT. melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah, dapat diketahui kekeliruan pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah SWT. (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum hukum Allah SWT.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid –seperti dikutip Sa’idd Hawwa- menuduh sesat golongan yang menjadikan wushul (mencapai) Allah SWT. merupakan tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syriat. Lebih tegas, ia mengatakan, “Betul, mereka sampai, tetapi ke neraka saqar.”
Dahulu, para ahli fiqh mengatakan, “Barang siapa mendalami fiqh, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqh berarti ia zindiq; barang siapa melakukan keduanya, berarti ia ber-thaqquq (melakukan kebenaran).” Tasawuf dan fiqh adalah dua disiplin ilmu yang ssaling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqh atau menjauhi fiqh. Dengan kata lain, seorang ahli fiqh tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fiqh harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf (sufi) pun harus mendalami dan mengikuti aturan fiqh. Tegasnya, seorang faqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan fengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Berkaitan dengan ini, Syekh Ar-Rifa’i berkata, “Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi adalah satu.” Pernyataan ini perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang “terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, “Orang yang tidak memiliki syekh, syekhnya adalah setan.” Ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk syekhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu cara mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para pengamat ilmu tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan tasawuf dengan fiqh adalah Al-Ghazali. Kitab Ihyā’ ‘Ulūm Ad-Dini-nya dapat dipandang sebagai kitab yang mewakili dua disiplin ini, di samping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsaafat.
Paparan di atas, telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf dan ilmu fiqh adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini, dapat dipahami bahwa ilmu fiqh yang terkesan sangat formalistik-lahirlah menjadi “sangat kering”, “kaku” dan tidak mempunyai makna yang berarti bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniah yang dimiliki oleh tasawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap “merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memerhatikan kesucian lahir yang diatur dalam fiqh.


[1] Hawwa, op. cit., hlm. 63-64

Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam


A.      HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoaalan kalam Tuhan.[1] Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadis. ilmu kalam sering menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), tetapi dengan metode-metode argumentasi yang dialetik. Jika pembicaraan kalam Tuhan ini berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat islam, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tauhid atau ilmu ‘aqa’id.
Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah SWT. bersifat Sama’ (Mendengar), Bashar (Melihat), Kalam (Berbicara), Irādah (Berkemauan), Qudrah (Kuasa), Hayat (Hidup), dan sebagainya. Akan tetapi, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seseorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah SWT. mendengar dan melihatnya, bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Quran dan bagimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari qudrah (kekuasaan) Allah SWT.
Pertanyaan-pertanyaan ini sulit terjawab dengan hanya melandaskan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah yang membahas cara merasakan nilai-nilai akidah dengan memerhatikan bahwa persoalan tadzzawwuq (bagaiman merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunnah atau dianjurkan, tetapi justru termasuk hal yang diwajibkan.[2]
As-Sunnah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap masalah tadzawwuq, seperti hadis Rasul yang dikutip Said Hawwa, “Yang merasakan rasanya iman adalah orang yang rida kepada Allah SWT. sebagai Tuhan, rida kepada islam sebagai agama, dan rida kepada Muhammad sebagai Rasul.”[3] Dalam hadis lain, Rasulullah SAW. pun pernah mengungkapkan, “Ada tiga perkara yang menyebabkan seorang dapat merasakan lezatnya iman, ‘Orang yang mencintai Allah SWT. dan Rasul-Nya lebih dari yang lain; orang yag mencintai hamba karena Allah SWT.; dan orang yang takut kembali pada kekufuran seperti ketakutannya untuk dimasukkan ke dalam api neraka’.”
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran, dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab, terkadang seseorang sudah tau batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksakannya.

Ath-Thabrani, dalam kitab Al-kabir, meriwayatkan hadis sahih dari Ibnu Umar r.a. Ia berkata:
“Pada suatu kesempatan saya bersama Nabi. Tak lama kemudian beliau didatangi Hurmalah bin Zaid. Ia duduk di hadapan Nabi, seraya berkata,’wahai Rasulullah, iman itu disini (sambil mengisyaratkan pada lisannya) dan kemunafikan itu disini (seraya menunjuk dadanya). Kami tidak pernah mengingat Allah, kecuali sedikit’. Rasulullah mendiamkannya maka Hurmalah mengulangi ucapannya, lalu Rasulullah SAW memegang Hurmalah, seraya berdoa,‘ya Allah, jadikanlah untuknya lisan yang jujur dan hati yang bersyukur, kemudian jadikan ddia mencintai dan mencintai orang yang cinta kepadaku, dan jadikanlah semua urusannya baik’. Kemudian, Hurmalah berkata,’wahai Rasulullah, aku mempunyai banyak teman yang munafik, dan aku dalah pemimpin mereka tidakah aku akan memberitahu nama-nama mereka kepadamu ?’ Rasulullah SAW menjawab,’siapa yang datang kepada kami ?’kami akan mengampuninya sebagai mana kami mengampunimu, dan siapa yang berketetapan hati untuk melaksanakan agamanya, Allah lebih utama baginya, janganlah menembus tirai (hati) seseorang’!”[4]
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurnaan ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama ulama salaf, hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf memiliki fungsi sebagai kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliya. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam akan bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah, ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagi dialektika sebagai keislaman belaka , yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).
Amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada munculah kekufuran, jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga, ilmu tauhid dapat memberi kontribusi pada ilmu tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, timbulah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya’, dengki, hasud, dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allah-lah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja dia tau kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong dan berbangga diri. Kalau saja manusia sadar bahwa dia betul-betul hamba Alah SWT., niscaya tidak ada perebutan kekuasaan. Kalau manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya’.
Dari sini lah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah SWT. (pendakian para kaum sufi).
Untuk melihat lebih lanjut hubungan antara ilmu tasawuf dan ilmu tauhid, alanngkah baiknya menengok paparan Al-Ghazali. Dalam bukunya yang berjudul Asma Al-Husna’, Al-Ghazali telah menjelaskan dengan baik persoalan tauhid kepada Allah SWT., terutama ketika menjelaskan nama-nama Allah SWT., materi pokok ilmu tauhidd. Nama Tuhan Ar-Rahim, katanya, pada aplikasi rohaniahnya merupakan sebuah sifat yang harus diteladani. Jika sifat Ar-Rahman diaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang durhaka dengan kelembutan bukan kekerasan; melihat orang dengan mata rahim, bukan dengan mata yang mnghina, bahkan ia mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang yang durhaka agar dapat diselamatkan. Jika melihat orang lain menderita atau sakit, orang yang rahim akan segera menolongnya. Nama lain Allah SWT. yang patut diteladani adalah Al-Qudus (Mahasuci). Seorang hamba akan suci kalau berhasil membebaskan pengetahuan dan kehendaknya dari khayalan daan segala persepsi yang dimilliki binatang.
Dengan ilmu taswuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi lebih dinamis dan aplikatif.


[1] Rossihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia, 2010), 215
[2] Rossihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia, 2010), 216, selanjutnya ditulis Anwar, Akhlak Tasawuf.
[3] Hadis Riwayat  Muslim dan Tirmidzi; Lihat juga Sa’id Hawwa, Tarbiyatunar-Ruhiyah, Terj. Khairul Rafie’ M. Dan Ibnu Thaha Ali, Bandung: Mizan, 1997, hlm.67.
[4] Lihat Hawwa, op. cit., hlm.68.

Sabtu, 24 November 2012

Perkembangan Tarekat di Indonesia


Perkembangan Tarekat di Indonesia
Pada awalnya, negara yang mempengaruhi berkembangnya tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat), dari sanalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin ar-Raniri belajar menimba ilmu dan mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun pada abad-abad berikutnya, beberapa tarekat besar masuk ke Indonesia melalui Makkah dan Madinah. Dengan cara ini pula Tarekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh luas di Indonesia.
Shufi Indonesia yang pertama kali menulis karangan tentang tarekat adalah Hamzah Fansuri. Dari namanya saja kita tahu bahwa beliau berasal dari kota Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam tulisannya, ia mengungkapkan gagasan nya melalui syair bercorak wihdatul-wujud yang cendrung kepada penafsiran panteistik.
Dalam syairnya Hamzah juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (disana ia mengunjungi makam syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani) dan ke Ayuthia. Dalam syairnya juga ia mengaku menerima ijazah Tarekat Qadiriyah di Baghdad bahkan diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini. Dengan demikian jelaslah, bahwa Hamzah Fansuri (w 1590) adalah shufi pertama di Indonesia yang diketahui secara pasti menganut Tarekat Qadiriyah.
a.         Tarekat Qadiriyah.
Qadiriiyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya yaitu Abdul al-Qadir Jailani yang terkenal dengan sebutan Syeikh Abd al-Qadir Jila al-Gawast al-Auliya. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spritualitas Islam, karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia. Kedati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya.
b.         Tarekat Syaziiliyah
Pendirinya yaitu Abu al-Hasan al-Syadzili. Nama legkapnya adalah Ali ibn Abdullah bin Abd Jabbar Abu al Hasan al-syadziili. Beliau dilahirkan di desa Ghumarra. masuk Indonesia khususnya di Wilayah Jawa tengah dan Jawa Timur. Adapun pemikiran pemikiran terkat al-Syaziliyah antara lain : Pertama, Tidak menganjurkan kepada muridnya untuk meninggalkan profesi dunia. Pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan, akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT. Meninggalkannya yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Kedua, Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. Ketiga, Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan..Keempat, Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi Miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak tergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang boleh saja mencari harta, namun jangan menjadi hamba dunia. Kelima, Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan umat , berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi. Menurut ajaran tarekat Syaziliyah mudah dalam perkara ilmu dan akal. Ajaran serta latihan–latihan penyucian dirinya tidak rumit dan tidak berbelit-belit. Yang dituntut dari para pengikutnya adalah meninggalkan maksiat, harus memelihara segala yang diwajibkan oleh Allah SWT dan mengerjakan ibadah-ibadah yang disunnahkan sebatas kemampuan tanpa paksaan. Bila telah mencapai tingkat yang lebih tinggi, maka wajib melakukan zikrullah sekurang-kurangnya seribu kali dalam sehari semalam dan juga harus beristigfar sebanyak seratus kali dan membaca shalawat terhadap nabi Muhammad SAW sekurang kurangnya seratus kali sehari semalam.
c.         Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri tarekat ini adalah Muhammad bin Muhammad Bah al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi. Lahir di Qashrul Arifah.
            Tarekat Naqsabandiyah mempunyai beberapa tata cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri, antara lain adalah : Pertama, Husy dar dam , Suatu latihan konsentrasi dimana seorang harus menjaga diri dari kehkilafan dan kealpaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah SWT . Kedua, Nazhar bar Qadam, “Menjaga langkah”. Seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala , melihat kearah kaki. Dan apabila duduk, tidak memandang ke kiri atau ke kanan. Ketiga, Safar dar wathan.” Melakukan perjalan di tanah kelahirannya”. Maknanya melakukan perjalanan bathin dengan meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai mahluk yang mulia. Keempat, Khalwat dari anjuman, ” Sepi di tengah keramaian”.Kelima, Yad krad, ” Ingat atau menyebut”. Berzikir terus menerus mengingat Allah, baik zikir Ism al-Dzat(menyebut nama Allah)maupun zikir naïf Itsbat ( Menyebut La Ilaha Illa Allah )
d.         Tarekat Khalwatiyah.
Nama tersebut diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar yaitu Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu Mahasin al-Taj al-Khalwaty al-Makassary. Beliau yang pertama kali menyebarkan tarekat ini ke Indonesia. Guru beliau Syaikh Abu al- Baraqah Ayyub al-Kahlwati al-Quraisy. bergelar ” Taj al- Khalwaty” sehingga namanya menjadi Syaikh Yusuf Taj al-Khalwaty. Al-Makassary dibaiat menjadi penganut Tarekat Khalwatiyah di Damaskus  Ada indikasi bahwa tarekat yang dijarkan merupakan penggabungan dari beberapa tarekat yang pernah ia pelajari, walaupun Tarekat Khalwatiyah tetap yang paling dominan. Adapun dasar ajaran Tarekat khalwatiyah adalah : Pertama, Yaqza maksudnya kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina di hadapan Allah SWT. Yang maha Agung. Kedua, Taubah Mohon ampun atas segala dosa. Ketiga, Muhasabah, menghitung-hitung atao introspeksi diri. Keempat, Inabah, berhasrat kembali kepada Allah. Kelima, Tafakkur Merenung tentang kebesaran Allah. Keenam, I’tisam selalu bertindak sebagai Khalifah Allah di bumi. Ketujuh, Firar Lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna. Kedelapan, Riyadah melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya. Kesembilan, Tasyakur, selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memujinya. Kesepuluh, Sima’ mengkonsentrasikan seluruh anggota tubuh dan mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.
e.         Tarekat Sammaniyah.
Didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i al-samman, lahir di Madinah dari keluarga Quraisy. Tarekat Sammaniyah ini juga berkembang di Nusantara, menurut keterangan dari Snouck Haugronje selama tinggal di Aceh, ia menyaksikan tarekat ini telah dipakai oleh masyarakat setempat.. selain itu Tarekat ini juga banyak berkembang di daerah lain terutama di Sulawesi selatan. Dan menurut keterangan Sri Muliyati bahwa dapat dipastikan bahwa di daerah Sulawesi Selatanlah Tarekat Sammaniyah yang terbanyak pengikutnya hingga kini.
Ajaran-ajaran pokok yang terdapat Tarekat ini adalah :
Tawassul, Memohon berkah kepada pihak-pihak tertentu yang dijaadikan wasilah(perantara) agar maksud bisa tercapai. Obyek tawasul tarekat ini adalah Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, asma-asma Allah, para Auliya, para ulama Fiqih, para ahli Tarekat, para ahli Makrifat, kedua orang tua
Wahdat al-Wujud, merupakan tujuan akhir yang mau di capai oleh para sufi dalam mujahadahnya.Wahdatul wujud merupakan tahapan dimana ia menyatu dengan hakikat alam yaitu Hakikat Muhammad atau nur Muhammad
Insan Kamil, dari segi syariat Wujud Insan kamil adalah Muhammad dan sedang dari segi hakekat adalah Nur Muhammad atau hakekat Muhammad, Orang Islam yang berminat menuju Tuhan sampai bertemu sampai bertemu denganya harus melewati koridor ini yaitu mengikuti jejak langkah Muhammad.
f.          Tarekat Tijaniyah
Didirikan oleh syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani, lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko.
Tarekat Tijaniah masuk ke Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi ada fenomena yang menunjukkan gerakan awal Tarekat Tijaniyah yaitu : Kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib dan adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet Cirebon. Kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib tidak diketahui secara pasti tahunnya. Menurut penjelasan GF. Pijper dalam buku Fragmenta Islamica: Beberapa tentang Studi tentang Islam di Indonesia abad 20 sebagaimana yang di kutip oleh Sri Muliyati bahwa Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib datang pertama kali ke Indonesia, saat menyebarkan Tarekat Tijaniyah ini di Tasikmalaya.
Berdarkan kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib ke pulau Jawa, maka Tarekat Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke 20 M. namun menurut Pijper, sebelum tahun 1928 Tarekat Tijaniyah belum mempunyai pengikut di pulau jawa. Pijper menjelaskan bawha Cirebon merupakan tempat pertama diketahui adanya gerakan tarekat Tijaniyah. Pada bulan Maret 1928 pemerintah Kolonial mendapat laporan bahwa ada gerakan keagamaan yang dibawa oleh guru agama ( Kiyai) yag membawa ajaran Tarekat baru yaitu Tijaniyah.
Dari Cirebon ini kemudian menyebar secara luas ke daerah-daerah di pulau Jawa melalui murid-murid pesantren Buntet ini. Perkembanga tarekat ini pada akhirnya bukan hanya dari pesantren Buntet di Cirebon tetapi juga dari luar Cirebon. Seperti Tasikmalaya, Brebes dan Ciamis. Selanjutnya Mengenai ajaran ajaran Tarekat ini, pada dasarnya hampir
sama dengan tarekat-tarekat yang telah berkembang sebelumnya pendekatan kepada Allah melalui Dzikir. Ajaran Tarekat ini cukup sederhana , yaitu perlu adanya perantara ( wasilah) antar manusia dan Tuhan . Perantara itu adalah dirinya sendiri dan para pengganti/wakil/naibnya. Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti guru-guru lain yang manapun , bahkan ia dilarang pula untuk memohon kepada wali dimanapun selain diriya. 
Secara umum amalan zikir (wirid) dalam Tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok yaitu, Istigfar, Shalawat, dan Hailalah. Inti ajaran zikir dalam Tarekat Tijaniyah adalah sebagai upaya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa terhadap Allah dan mengisinya secara terus menerus dengan menghadirkan jiwa kepada Allah SWT melalui zikir terhadap zat, sifat-sifat, hukum-hukum dan perbuatan Allah. Zikir tersebut mencakup dua bentuk,
yaitu zikir bil al-Lisan dan zikir bi al-Qalb. Adapun bentuk amalan wirid Tarekat Tijaniyah terdiri dari dua jenis yaitu, Wirid Wajibah dan wirid Ikhtiyaariyah, Wirid Wajibah yakni wirid yang wajib diamalkan oleh setiap murid Tijaniyah, tidak boleh tidak dan menjadi ukuran sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah. Wirid Ikhtiyariyah yakni Wirid yang tidak mempunyai ketentuan kewajiban untuk mengamalkannya, dan tidak menjadi ukuran syarat sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah. Wirid Wajibah ini
terbagi lagi menjadi tiga yaitu (1)Wirid Lazimah, (2)Wirid Wadzifah, (3)Wirid hailalah.
g.         Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
 Tarekat ini adalah merupakan tarekat gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah (TQN). Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini lebih merupakan sebuah tarekat yang baru dan berdiri yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan juga Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Tarekat ini didirikan oleh Orang Indonesia Asli yaitu Ahmad Khatib Ibn al-Ghaffar Sambas, yang bermukim dan mengajar di Makkah pada pertengahan abad kesembilan belas. Bila dilihat dari perkembangannya Tarekat ini bisa juga disebut “Tarekat Sambasiyah” Tapi Nampaknya Syaikh al-Khatib tidak menamakan tarekatnya dengan namanya sendiri. berbeda dengan guru-gurunya yang lain yang memberikan nama tarekatnya sesuai dengan nama pengembangnya. 

Tarekat



TAREKAT

a.    Pengertian Tarekat

Kata Tarekat di ambil dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir al- Qulub-nya adalah:


Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.

Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.

Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.

b.         Sejarah Tarekat

Tarekat sufi atau kelompok-kelompok sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara langsung.
Di abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam lingkungan-lingkungan khusus atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi kaum sufi yang menjalani kehidupan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan agama mulai banyak menarik kelompok manusia. Di antara abad kesembilan dan kesebelas, mulai muncul berbagai tarekat sufi, yang meliputi para ahli dari segala lapisan masyarakat. Ketika tarekat sufi, atau persaudaraan sufi ini muncul, pusat kegiatan sufi bukan lagi di rumah-rumah pribadi, sekolah atau tempat kerja sang pemimpin spiritual. Selain itu, struktur yang lebih bersifat kelembagaan pun diberikan pada pertemuan-pertemuan mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan pusat-pusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat pertemuan kaum sufi biasanya disebut Khaneqah atau Zawiyya. Orang Turki menamakan tempat perlindungan orang sufi sebagai Tekke. Di Afrika Utara tempat semacam itu disebut Ribat, nama yang juga digunakan untuk menggambarkan kubu atau benteng tentara sufi yang membela jalan Islam dan berjuang melawan orang-orang yang hendak menghancurkannya. Di anak-benua India, pusat sufi disebut Jama’at Khana atau Khaneqah.
Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada abad-abad awal setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk menegaskan suatu jalan yang jelas untuk penerapan hukum tersebut, demikian pula tarekat-tarekat sufi yang muncul dalam periode yang sama bermaksud menegaskan jalan yang sederhana bagi praktik penyucian batin. Sebagaimana banyak mazhab hukum Islam (fiqh) tidak lagi dipropagandakan sehingga berakhir, demikian pula banyak tarekat besar menghadapi situasi yang serupa. Di abad kesembilan terdapat lebih dari tiga puluh mazhab fiqh Islam, tetapi kemudian jumlah tersebut berkurang hingga lima atau enam saja. Di abad ke-12 Anda tak dapat menghitung jumlah tarekat sufi, antara lain karena banyaknya, dan karena tarekat-tarekat itu belum ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar syekh dan guru spiritual dalam tarekat sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran mereka akan diberikan penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa setelah kematian mereka, atau bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai dengan nama mereka. Namun, terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering merupakan akibat dari pengasingan diri (uzlah) secara fisik dan arah yang diambil oleh kecenderungan Islam
Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah bahwa banyak diantaranya telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan kadang saling melemahkan. Kebanyakan tarekat sufi memelihara catatan tentang silsilahnya, yakni rantai penyampaian pengetahuan dari syekh ke syekh, yang sering tertelusuri sampai kepada salah satu Imam Syi’ah dan karenanya kembali melalui Imam ‘Ali ke Nabi Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan wewenangnya. Satu-satunya kekecualian adalah tarekat Naqsyabandiyah yang silsilah penyampaiannya melalui Abu Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi Muhammad SAW.

c.         Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
            Tarekat merupakan bagian dari tasawuf. Jika kita membahas masalah tasawuf, akan kita temui bagian khusus yang mengulas seputar tarekat beserta rentetannya. 
            keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan melakukan ibadah ditambah dengan tata cara zikir, dan bacaan wirid tertentu. 
            Tasawuf dicapai secara perorangan, dengan pemaknaan diri serta kesadaran sendiri tanpa campur tangan orang lain. Sedangkan tarekat dilakukan dengan usaha bersama di bawah bimbingan Syaikh untuk mencapai tujuan.  
             materi yang diajarkan seorang Syaikh kepada pengikutnya hampir sama dengan materi yang diajarkan oleh seorang sufi, bedanya dalam tarekat untuk sampai pada pengalaman rohani, seseorang dibimbing oleh seorang Syaikh (pemimpin). Sedangkan dalam tasawuf, untuk sampai pada pengalaman rohani, hanya mengandalkan diri sendiri tanpa bantuan orang lain. 

d.         Tokoh Tarekat

1. Tarekat Chisytiyah
Khwaja (‘Guru’) Abu Ishaq Chisyti adalah orang Suriah, lahir di awal abad ke-10. Ia dianggap keturunan Nabi Muhammad SAW dan dinyatakan sebagai ‘keturunan spritual’ ajaran-ajaran batiniah Keluarga (Bani) Hasyim. Pengikut-pengikutnya berkembang dan berasal dari Garis para Guru, yang kemudian dikenal menjadi Naqsyabandiyah (‘Orang-orang Bertujuan’).
Komunitas Chisytiyah ini, berawal di Chisyt, Khurasan, khususnya menggunakan musik dalam latihan-latihan mereka. Kaum darwis pengelana dari tarekat ini, dikenal sebagai Chist atau Chisht. Mereka akan memasuki sebuah kota dan meramaikan suasana dengan seruling dan genderang, untuk mengumpulkan orang-orang sebelum menceritakan dongeng atau legenda. Ini adalah sebuah permulaan yang penting.
Jejak tokoh ini ditemukan pula di Eropa, di mana Chist Spanyol ditemukan dengan pakaian dan instrumen serupa—semacam pelawak atau komedi keliling.
Sebagaimana tarekat Sufi lainnya, metodologi khusus kaum Chisyti segera mengalami kristalisasi menjadi kecintaan sederhana terhadap musik; pembangkitan emosional yang dihasilkan musik dikacaukan dengan ‘pengalaman spiritual’.
Pengaruh kaum Chisyti paling lama di India. Selama 900 tahun terakhir, musisi mereka dihargai di seluruh benua.

2. Tarekat Qadariyah
‘Jalan’ ini diadakan oleh para pengikut Abdul Qadir dari Gilan, yang lahir di Nif, distrik Gilan, sebelah selatan Laut Kaspia. Dia meninggal dunia pada 1166, dan menggunakan terminologi sangat sederhana yang kemudian hari digunakan oleh orang-orang Rosicrucia di Eropa.
Hadrat Syekh Abdul Qadir, khususnya dalam pengaruhnya terhadap keadaan-keadaan spiritual, disebut ‘Ilmu Pengetahuan Keadaan’. Pekerjaannya telah digambarkan dalam istilah yang berlebih-lebihan oleh para pengikutnya.
Semangat untuk mengerjakan yang berlebihan terhadap teknik-teknik menggembirakan hampir pasti menjadi sebab keadaan yang memburuk dari tarekat Qadiriyah. Hal ini mengikuti suatu pola umum dalam diri para pengikut, apabila hasil dari suatu kondisi pikiran yang berubah menjadi suatu tujuan dan bukan suatu cara atau alat yang diawasi oleh seorang ahli.

3. Tarekat Suhrawardiyah
Syeikh Ziauddin Jahib Suhrawardi—mengikuti disiplin sufi kuno Junaid Al-Baghdadi—dianggap sebagai pendiri tarekat ini pada abad ke-11 Masehi. Seperti halnya tarekat-tarekat lain, guru-guru Suhrawardi diterima oleh pengikut Naqsyabandi dan lainnya.
India, Persia dan Afrika semuanya dipengaruhi aktikitas mistik mereka melalui metode dan tokoh-tokoh tarekat, kendati pengikut Suhrawardi ada di antara pecahan terbesar kelompok-kelompok sufi.
Praktek-praktek mereka diubah dari kegembiraan mistik kepada latihan diam secara lengkap untuk ‘Persepsi terhadap Realitas’.
Bahan-bahan instruksi (pelajaran) tarekat seringkali, untuk seluruh bentuk, hanya merupakan legenda atau fiksi. Bagaimanapun bagi penganut, mereka mengetahui materi-materi esensial untuk mempersiapkan dasar bagi pengalaman-pengalaman yang harus dijalani murid. Tanpa itu, diyakini, ada kemungkinan bahwa murid dengan sederhana mengembangkan keadaan pemikiran yang sudah berubah, yang membuatnya tidak cakap dalam kehidupan sehari-hari.

4. Tarekat Naqsyabandiyah
Sekolah darwis yang disebut Khajagan (‘Para Guru’) muncul di Asia Tengah dan berpengaruh besar terhadap perkembangan kerajaan India dan Turki. Tarekat mengembangkan banyak sekolah khusus, yang mengambil nama-nama individu. Banyak penulis menganggapnya sebagai awal dari seluruh ‘mata rantai penyebaran’ mistik.
Khaja Bahauddin Naqsyabandi (wafat kira-kira 1389 M) adalah salah seorang dari tokoh-tokoh besar sekolah ini. Bahauddin menghabiskan waktu tujuh tahun sebagai kerabat istana, tujuh tahun memelihara binatang dan tujuh tahun dalam pembangunan jalan.
Ia belajar di bawah bimbingan Baba As-Samasi yang mengagumkan, dan dihargai setelah kembali pada prinsip dan praktek sufisme. Para syekh Naqsyabandi sendiri mempunyai kewenangan untuk menuntun murid ke tarekat-tarekat darwis yang lain.
Karena mereka tidak pernah mengenakan busana aneh di depan umum, dan karena anggota mereka tidak pernah melakukan kegiatan-kegiatan yang menarik perhatian, para sarjana tidak merekonstruksi sejarah tarekat, dan sering kesulitan mengidentifikasi anggota-anggotanya. Penganut Naqsyabandi di Timur Tengah dan Asia Tengah memperoleh reputasi sebagai umat Muslim yang taat.



pengertian maqamat dan al-ahwal


Pengertian Maqamat
 
Maqamat, bentuk jamak dari maqam berarti tahapan, tingkatan, atau kedudukan. Jadi, maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya. Adapun  maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai  berikut:
  1. Taubat
Dalam beberapa literatur ahli sufi ditemukan bahwa maqam pertama yang harus ditempuh oleh salik adalah taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini. Beberapa diantara mereka memandang bahwa taubat merupakan awal semua maqamat yang kedudukannya laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi bangunan tidak dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah. Dalam ajaran tasawuf  konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan hanya sekali, tetapi harus berkali-kali Dalam hal ini Dzu al-Nun al-Mishry membagi taubat pada dua bagian yaitu taubatnya orang awam dan orang khawas. Ia mengatakan:
توبة العوام من الذنوب وتوبة الخواص من الغفلة
Lebih lanjut al-Daqqaq membagi taubat dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu taubat kemudian inabah (kembali) dan tahap terakhir yaitu awbah. Menurut al-Sarraj tobat terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (Muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
2.   wara’
kata wara’ berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه.
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3.   Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf  z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat  dan mengharapkan ridha Allah SWT.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
  • Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
  • Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
  • Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah.
4.   Faqr
Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang sangat diinginkan maka faqr berarti mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Allah, kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.
Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya.  Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub,  mengutip seorang sufi yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5.   Sabr
Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
Menurut al-Sarraj sabar terbagi atas tiga macam yaitu: orang yang berjuang untuk sabar, orang yang sabar dan orang yang sangat sabar.
6.   Tawakkal
Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf  berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
7.   Ridha
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa: الرضا: أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu Bakar Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من القلب، حتى لا يكون فيه إلا فرح وسرور. . Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
Ridha menurut al-Sarraj merupakan sesuatu yang agung dan istimewa, maksudnya bahwa siapa yang mendapat kehormatan dengan ridha berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi. Dalam kitabnya al-Luma’ al-sarraj lebih lanjut mengemukakan bahwa maqam ridha adalah maqam terakhir dari seluruh rangkaian maqamat. Imam al-Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.
Pengertian al-ahwal
Sedangkan ahwal, bentuk jamak dari hal, adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf sebagai anugerah yang datang dari Allah SWT. Maqam merupakan usaha, sedangkan hal merupakan anugerah. Keadaan hati dinamakan hal karena berubah-ubah dan dinamakan maqam karena telah tetap.  konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
  • Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
  • Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan  bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
  • Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
  • Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf  adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan  terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
  • Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Adapun dasar paham  mahabbah antara lain dalam firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
 “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Adapun tanda-tanda mahabbah menurut Suhrawardi yaitu;
1) di dalam hati sang pencinta tidak ada kecintaan pada dunia dan akhirat nanti.
2) ia tidak boleh cenderung pada keindahan atau kecantikan lain yang mungkin terlihat olehnya atau mengalihkan pandangannya dari keindahan Allah.
3) ia mesti lebih mencintai sarana untuk bersatu dengan kekasih dan tunduk.
4) karena dipenuhi dan dibakar cinta, ia mestilah menyebut-nyebut nama Allah tanpa lelah.
5) Ia harus mengabdi kepada Allah dan tidak menentang perintahNya.
6) apapun pilhannya pandangannya selalu mengharapkan keridhaan Allah.
7) menyaksikan Allah dan bersatu denganNya tidak harus mengurangi kadar cinta dalam dirinya. Dalam dirinya harus bangkit sifat syauq, dan ketakjuban.
Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
  • Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
  • Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf  musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki,  musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
  • Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya Abu al-Husain, Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, Dar al-Ma’rifah: Beirut, tt.
Al-Jailani Syekh Abdul Qadir, Rahasia Sufi Agung, penerj. Abdul Madjid, (Cet. I; DIVA press: Yogyakarta, 2008)
Al-Qusyairiy, al-Risalah al-Qusyairiyah (CD al-Maktabah al-Syamilah)
al-Turmudzi Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan al Turmudzi, Beirut: Dar al Fikr, 1994).
Azra Azyumardi dkk, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
Bagir Haidar, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II; Mizan: Bandung), 2006.
Basyuniy Ibrahim, Nasy’ah al-Taswuf al-Islamiy, Dar al-Ma’arif: Mesir, 1119 H[1]
Rahman Fazlur, Islam, Terjemahan oleh Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung: Pustaka, 1984)
Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (Cet. II; Raja Grafindo Persada: Jakarta), 1997.
Suhrawardi Syekh Syihabuddin Umar, Awarif al-Ma’arif., (ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung, 1998.
Zainul Bahri Media, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, (Cet. I; Prenada Media: Jakarta), 2005.