A. PENGERTIAN
TASAWUF AKHLAKI
Tasawuf akhlaki, jika ditinjau dari
sudut bahasa merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal
dengan sebutan jumlah idhafah. Frase jumlah idhafah merupakan
gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan
realitas yang khusus, yaitu kata ‘tasawuf’ dan ‘akhlak’.
Secara etimologis, tasawuf akhlaqi
bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika
konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf
akhlaqi ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak
manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu moralitas masyarakat.
Oleh karena itu, tasawuf akhlaqi merupakan
kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya
berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang
waktu kehidupan manusia.
Di dalam diri manusia juga ada
potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut dengan fitrah yang
cenderung kepada kebaikan. Ada juga yang disebut dengan nafsu yang cenderung
kepada keburukan. Jadi, tasawuf akhlaqi akan berkonstrasi pada teori-teori
perilaku dan perbaikan akhlak.
B. TASAWUF AKHLAQI DAN
KARAKTERISTIKNYA
Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik Islam hingga zaman modern sekarang sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i.
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain:
Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik Islam hingga zaman modern sekarang sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i.
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain:
Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Tidak menggunakan
terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan
syathahat.
Lebih bersifat mengajarkan dualisme
dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan di sini
adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusid dapat berhubungan dengan
Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam
hal esensinya. Sedekat apa pun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat
manusia dapatt menyatu dengan Tuhan.
Kesinambungan antara hakikat dengan
syari’at.
Lebih terkonsentrasi pada soal
pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan
mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
C. TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAQI
Berikut ini adalah contoh-contoh sufi beserta ajaran-ajarannya yang termasuk ke dalam aliran tasawuf akhlaqi.
1. Hasan Al-Bashri (21 – 110 H)
a. Biografi Singkat
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’in Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khathtab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.
b. Ajaran-ajaran Tasawuf
Hamka mengemukakan sebagian ajaran-ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri berikut ini:
Perasaan takut yang menyebabkan
hatimu tentram lebih baik daripada rasa tenteram yang menimbulkan perasaan
takut.
Dunia adalah negeri tempat beramal.
Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia
dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan duni, ia akan sengsara dan akan
berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
Tafakur membawa kita pada kebaikan
dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita
untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ – betapapun banyaknya –
tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ – betapa pun sedikitnya. Waspadalah
terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
2. Al-Muhasibi (165-243 H)
a. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H/781 M. dan meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadits, dan fiqh. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya. Ia merupakan guru bagi kebanyakan ulama Baghdad. Orang yang paling banyak menimba ilmu darinya dan dipandang sebagai muridnya paling dekat dengannya adalah Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 298 H.) yang kemudian menjadi seorang sufi dan ulama besar Baghdad.
b. Ajaran-Ajaran Tasawuf
Makrifat dan Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi peneting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat itu dengan etika-etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifatipula dengan sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya, adalah ketakwaan ; Pangkal ketakwaan adalah intropeksi diri (muhasabat an-nafs; Pangkal intropeksi diri adalah khauf dan raja’; Pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
“Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa berada di dalam surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa
yang diberikan kepada mereka oleh tuhan mereka, sesungguhnya mereka sebelum itu
di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di
waktu malam; Dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).”
(Q.S. Adz-Dzariyyat: 15 – 18)
(Q.S. Adz-Dzariyyat: 15 – 18)
3. Al-Qusyairi
(376-465 H)
a. Biografi Singkat
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karynya tentang para sufi dan tasawuf aliran sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoretis maupun praktis.
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karynya tentang para sufi dan tasawuf aliran sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoretis maupun praktis.
b.
Ajaran-Ajaran Tasawuf
·
Mengembalikan
Tasawuf ke Landasan Ahlusunnah
·
Kesehatan
Batin
·
Penyimpangan
Para sufi
4. Al-Ghazali
(450 – 505 H)
a. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H./1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah,m aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya.
1) Makrifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harrun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yanag dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah allah. Di sini, sampailah ia ke tingkat makrifat.
2) As-Sa’dah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kita kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
a. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H./1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah,m aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya.
1) Makrifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harrun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yanag dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah allah. Di sini, sampailah ia ke tingkat makrifat.
2) As-Sa’dah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kita kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
1 komentar:
terima kasih :)
Posting Komentar