Pengertian Maqamat
Maqamat, bentuk jamak dari maqam berarti tahapan, tingkatan, atau kedudukan.
Jadi, maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana telah
disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang
salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan.
Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu
maqam ke maqam berikutnya. Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya
sebagai berikut:
- Taubat
Dalam beberapa
literatur ahli sufi ditemukan bahwa maqam pertama yang harus ditempuh oleh
salik adalah taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini. Beberapa
diantara mereka memandang bahwa taubat merupakan awal semua maqamat yang
kedudukannya laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi bangunan tidak
dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya
dan tidak akan dapat dekat dengan Allah. Dalam ajaran tasawuf konsep
taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal
taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali
dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya
lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara
seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah
Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada
sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa
dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak
melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan
lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan hanya sekali,
tetapi harus berkali-kali Dalam hal ini Dzu al-Nun al-Mishry membagi taubat
pada dua bagian yaitu taubatnya orang awam dan orang khawas. Ia mengatakan:
توبة العوام من الذنوب وتوبة الخواص من الغفلة
Lebih lanjut al-Daqqaq
membagi taubat dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu taubat kemudian inabah (kembali)
dan tahap terakhir yaitu awbah. Menurut al-Sarraj tobat terbagi pada beberapa
bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (Muridin),
muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli
haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat
lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka
dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus
al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu
selain Allah.
2.
wara’
kata wara’ berarti
menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna
menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat).
Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن
عبد الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه.
“Diantara (tanda)
kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting
baginya”.
Adapun makna wara’
secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa
ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang
dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara
sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan
memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3. Zuhud
Kata zuhud banyak
dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud
merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai
langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada
dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang
mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan
tidak menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang
diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik
yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir
konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain
yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata
zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti
zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan
d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud
diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat
kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan
ridha Allah SWT.
Menurut Syaikh
Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan
orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang
khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang
merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya
benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang
khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan
bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci.
Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan
menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
- Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang
kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
- Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd).
Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan
kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu
berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
- Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia
ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat
mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka,
semuanya semata-mata karena Allah.
4. Faqr
Faqr bermakna
senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat hubungannya dengan
sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi keinginan terhadap
hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang sangat diinginkan maka faqr
berarti mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain
Allah, kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.
Orang yang faqr bukan
berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan
dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang
yang bersikap faqr berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan
kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam
Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang mengatakan “Faqir
bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya
hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri
faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari
kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5. Sabr
Sabar secara etimologi
berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar
memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis
bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak
disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah.
Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang
menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala
laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci
sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua
bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika
bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya
sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
Menurut al-Sarraj sabar
terbagi atas tiga macam yaitu: orang yang berjuang untuk sabar, orang yang
sabar dan orang yang sangat sabar.
6. Tawakkal
Tawakkal bermakna
‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan
dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan
keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal
dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para
sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak
Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang
menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik
jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
7. Ridha
Pada dasarnya beberapa
ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan
Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam
atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk
penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab
al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna
ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa: الرضا: أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu Bakar Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من القلب، حتى لا يكون فيه إلا فرح وسرور. . Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan
buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap
menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah kepada
seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha
merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
Ridha menurut al-Sarraj
merupakan sesuatu yang agung dan istimewa, maksudnya bahwa siapa yang mendapat
kehormatan dengan ridha berarti ia telah disambut dengan sambutan paling
sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi. Dalam kitabnya
al-Luma’ al-sarraj lebih lanjut mengemukakan bahwa maqam ridha adalah maqam
terakhir dari seluruh rangkaian maqamat. Imam al-Gazali mengatakan bahwa
hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas
kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan
Allah.
Pengertian al-ahwal
Sedangkan ahwal, bentuk jamak dari hal, adalah keadaan
mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf sebagai anugerah yang datang
dari Allah SWT. Maqam merupakan usaha, sedangkan hal merupakan anugerah.
Keadaan hati dinamakan hal karena berubah-ubah dan dinamakan maqam karena telah
tetap. konsep pembagian atau
formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara
macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah,
musyahadah, yaqin.
Secara etimologi
muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi
muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi
oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi
bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga
berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
Menurut al-Qusyairi,
takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap
mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa
takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn
Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas.
Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan
orang lari menuju Allah.
Raja’ bermakna harapan.
Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih
datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati
kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu,
Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi
hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka
dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi
diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia
dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya
timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan
menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
Syauq bermakna lepasnya
jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan
bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah
suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu
karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka
seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan
terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam,
maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan
menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu
dan bersama Allah.
Cinta (mahabbah) adalah
pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang
menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu
kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada
segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Adapun dasar paham
mahabbah antara lain dalam firman Allah:
“Hai orang-orang yang
beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
“Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Adapun tanda-tanda
mahabbah menurut Suhrawardi yaitu;
1) di dalam hati sang
pencinta tidak ada kecintaan pada dunia dan akhirat nanti.
2) ia tidak boleh
cenderung pada keindahan atau kecantikan lain yang mungkin terlihat olehnya
atau mengalihkan pandangannya dari keindahan Allah.
3) ia mesti lebih
mencintai sarana untuk bersatu dengan kekasih dan tunduk.
4) karena dipenuhi dan
dibakar cinta, ia mestilah menyebut-nyebut nama Allah tanpa lelah.
5) Ia harus mengabdi
kepada Allah dan tidak menentang perintahNya.
6) apapun pilhannya
pandangannya selalu mengharapkan keridhaan Allah.
7) menyaksikan Allah dan
bersatu denganNya tidak harus mengurangi kadar cinta dalam dirinya. Dalam
dirinya harus bangkit sifat syauq, dan ketakjuban.
Tokoh utama paham
mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta kepada
Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada
Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
Secara bahasa
tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir,
tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai
tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang
hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya.
Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi
langsung dengan Allah SWT.
Dalam perspektif
tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa
keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam
dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan
dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari
tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah.
Dalam pandangan al-Makki, musyahadah juga berarti bertambahnya
keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di
dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa
seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga
tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
Al-yaqin berarti
perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta
rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara
langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu
di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut
al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal.
Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ibn Faris Ibn
Zakariyya Abu al-Husain, Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Gazali, Ihya
Ulumuddin, Dar al-Ma’rifah: Beirut, tt.
Al-Jailani Syekh Abdul
Qadir, Rahasia Sufi Agung, penerj. Abdul Madjid, (Cet. I; DIVA press:
Yogyakarta, 2008)
Al-Qusyairiy, al-Risalah
al-Qusyairiyah (CD al-Maktabah al-Syamilah)
al-Turmudzi Abu Isa
Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan al Turmudzi, Beirut: Dar al Fikr,
1994).
Azra Azyumardi dkk, Ensiklopedi
Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
Bagir Haidar, Buku
Saku Tasawuf, (Cet. II; Mizan: Bandung), 2006.
Basyuniy Ibrahim, Nasy’ah
al-Taswuf al-Islamiy, Dar al-Ma’arif: Mesir, 1119 H[1]
Rahman Fazlur, Islam,
Terjemahan oleh Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung: Pustaka, 1984)
Simuh, Tasawuf Dan
Perkembangannya Dalam Islam, (Cet. II; Raja Grafindo Persada: Jakarta),
1997.
Suhrawardi Syekh
Syihabuddin Umar, Awarif al-Ma’arif., (ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma
Nugraha ni Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung, 1998.
Zainul Bahri Media, Menembus
Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, (Cet.
I; Prenada Media: Jakarta), 2005.