Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Selasa, 27 November 2012

Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam


A.      HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoaalan kalam Tuhan.[1] Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadis. ilmu kalam sering menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), tetapi dengan metode-metode argumentasi yang dialetik. Jika pembicaraan kalam Tuhan ini berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat islam, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tauhid atau ilmu ‘aqa’id.
Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah SWT. bersifat Sama’ (Mendengar), Bashar (Melihat), Kalam (Berbicara), Irādah (Berkemauan), Qudrah (Kuasa), Hayat (Hidup), dan sebagainya. Akan tetapi, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seseorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah SWT. mendengar dan melihatnya, bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Quran dan bagimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari qudrah (kekuasaan) Allah SWT.
Pertanyaan-pertanyaan ini sulit terjawab dengan hanya melandaskan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah yang membahas cara merasakan nilai-nilai akidah dengan memerhatikan bahwa persoalan tadzzawwuq (bagaiman merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunnah atau dianjurkan, tetapi justru termasuk hal yang diwajibkan.[2]
As-Sunnah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap masalah tadzawwuq, seperti hadis Rasul yang dikutip Said Hawwa, “Yang merasakan rasanya iman adalah orang yang rida kepada Allah SWT. sebagai Tuhan, rida kepada islam sebagai agama, dan rida kepada Muhammad sebagai Rasul.”[3] Dalam hadis lain, Rasulullah SAW. pun pernah mengungkapkan, “Ada tiga perkara yang menyebabkan seorang dapat merasakan lezatnya iman, ‘Orang yang mencintai Allah SWT. dan Rasul-Nya lebih dari yang lain; orang yag mencintai hamba karena Allah SWT.; dan orang yang takut kembali pada kekufuran seperti ketakutannya untuk dimasukkan ke dalam api neraka’.”
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran, dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab, terkadang seseorang sudah tau batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksakannya.

Ath-Thabrani, dalam kitab Al-kabir, meriwayatkan hadis sahih dari Ibnu Umar r.a. Ia berkata:
“Pada suatu kesempatan saya bersama Nabi. Tak lama kemudian beliau didatangi Hurmalah bin Zaid. Ia duduk di hadapan Nabi, seraya berkata,’wahai Rasulullah, iman itu disini (sambil mengisyaratkan pada lisannya) dan kemunafikan itu disini (seraya menunjuk dadanya). Kami tidak pernah mengingat Allah, kecuali sedikit’. Rasulullah mendiamkannya maka Hurmalah mengulangi ucapannya, lalu Rasulullah SAW memegang Hurmalah, seraya berdoa,‘ya Allah, jadikanlah untuknya lisan yang jujur dan hati yang bersyukur, kemudian jadikan ddia mencintai dan mencintai orang yang cinta kepadaku, dan jadikanlah semua urusannya baik’. Kemudian, Hurmalah berkata,’wahai Rasulullah, aku mempunyai banyak teman yang munafik, dan aku dalah pemimpin mereka tidakah aku akan memberitahu nama-nama mereka kepadamu ?’ Rasulullah SAW menjawab,’siapa yang datang kepada kami ?’kami akan mengampuninya sebagai mana kami mengampunimu, dan siapa yang berketetapan hati untuk melaksanakan agamanya, Allah lebih utama baginya, janganlah menembus tirai (hati) seseorang’!”[4]
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurnaan ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama ulama salaf, hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf memiliki fungsi sebagai kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliya. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam akan bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah, ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagi dialektika sebagai keislaman belaka , yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).
Amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada munculah kekufuran, jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga, ilmu tauhid dapat memberi kontribusi pada ilmu tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, timbulah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya’, dengki, hasud, dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allah-lah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja dia tau kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong dan berbangga diri. Kalau saja manusia sadar bahwa dia betul-betul hamba Alah SWT., niscaya tidak ada perebutan kekuasaan. Kalau manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya’.
Dari sini lah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah SWT. (pendakian para kaum sufi).
Untuk melihat lebih lanjut hubungan antara ilmu tasawuf dan ilmu tauhid, alanngkah baiknya menengok paparan Al-Ghazali. Dalam bukunya yang berjudul Asma Al-Husna’, Al-Ghazali telah menjelaskan dengan baik persoalan tauhid kepada Allah SWT., terutama ketika menjelaskan nama-nama Allah SWT., materi pokok ilmu tauhidd. Nama Tuhan Ar-Rahim, katanya, pada aplikasi rohaniahnya merupakan sebuah sifat yang harus diteladani. Jika sifat Ar-Rahman diaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang durhaka dengan kelembutan bukan kekerasan; melihat orang dengan mata rahim, bukan dengan mata yang mnghina, bahkan ia mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang yang durhaka agar dapat diselamatkan. Jika melihat orang lain menderita atau sakit, orang yang rahim akan segera menolongnya. Nama lain Allah SWT. yang patut diteladani adalah Al-Qudus (Mahasuci). Seorang hamba akan suci kalau berhasil membebaskan pengetahuan dan kehendaknya dari khayalan daan segala persepsi yang dimilliki binatang.
Dengan ilmu taswuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi lebih dinamis dan aplikatif.


[1] Rossihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia, 2010), 215
[2] Rossihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia, 2010), 216, selanjutnya ditulis Anwar, Akhlak Tasawuf.
[3] Hadis Riwayat  Muslim dan Tirmidzi; Lihat juga Sa’id Hawwa, Tarbiyatunar-Ruhiyah, Terj. Khairul Rafie’ M. Dan Ibnu Thaha Ali, Bandung: Mizan, 1997, hlm.67.
[4] Lihat Hawwa, op. cit., hlm.68.

Tidak ada komentar: