Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Selasa, 27 November 2012

Hubungan tasawuf dengan filsafat dan syari'at (fiqh)


A.      HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FILASAFAT
Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur, harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roph, di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagis kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Akan tetapi, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasawuf, tetapi tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhn jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan di situ tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu (qalb, hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.[1]
B.       HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI’AT (FIQH)
Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqh selalu dimulai dari thaharah (tata cara bersuci), kemudian persoalan-persoalan fiqh lainnya. Akan tetapi, pembahasan ilmu fiqh tentang thaharah  atau lainnya tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Padahal, thaharah akan terasa lebih bermakna jika disertai pemahaman rohaniahnya.
Persoalan sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqh dalam persoalan-persoalan tersebut? Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu fiqh. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya msing-masing. Bahkan, ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia unuk melaksanakan hukum-hukum fiqh. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Ma’rifat secara rasa (al-ma’rifat adz-dzauqiyahi) terhadap Allaaah SWT. melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah, dapat diketahui kekeliruan pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah SWT. (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum hukum Allah SWT.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid –seperti dikutip Sa’idd Hawwa- menuduh sesat golongan yang menjadikan wushul (mencapai) Allah SWT. merupakan tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syriat. Lebih tegas, ia mengatakan, “Betul, mereka sampai, tetapi ke neraka saqar.”
Dahulu, para ahli fiqh mengatakan, “Barang siapa mendalami fiqh, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqh berarti ia zindiq; barang siapa melakukan keduanya, berarti ia ber-thaqquq (melakukan kebenaran).” Tasawuf dan fiqh adalah dua disiplin ilmu yang ssaling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqh atau menjauhi fiqh. Dengan kata lain, seorang ahli fiqh tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fiqh harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf (sufi) pun harus mendalami dan mengikuti aturan fiqh. Tegasnya, seorang faqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan fengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Berkaitan dengan ini, Syekh Ar-Rifa’i berkata, “Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi adalah satu.” Pernyataan ini perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang “terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, “Orang yang tidak memiliki syekh, syekhnya adalah setan.” Ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk syekhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu cara mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para pengamat ilmu tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan tasawuf dengan fiqh adalah Al-Ghazali. Kitab Ihyā’ ‘Ulūm Ad-Dini-nya dapat dipandang sebagai kitab yang mewakili dua disiplin ini, di samping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsaafat.
Paparan di atas, telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf dan ilmu fiqh adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini, dapat dipahami bahwa ilmu fiqh yang terkesan sangat formalistik-lahirlah menjadi “sangat kering”, “kaku” dan tidak mempunyai makna yang berarti bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniah yang dimiliki oleh tasawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap “merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memerhatikan kesucian lahir yang diatur dalam fiqh.


[1] Hawwa, op. cit., hlm. 63-64

Tidak ada komentar: