A. HUBUNGAN
TASAWUF DENGAN ILMU FILASAFAT
Ilmu tasawuf yang berkembang di
dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini
dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang
jiwa. Secara jujur, harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh banyak dikaji
dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga
banyak mengkaji tentang jiwa dan roph, di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam
pendekatan kefilsafatan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagis
kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh
pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang
jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Akan tetapi, perlu
juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah
istilah qalb (hati). Istilah qalb memang lebih spesifik dikembangkan
dalam tasawuf, tetapi tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah
bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan
oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan
kebutuhan-kebutuhn jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki
tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan di situ tidak terdapat kerja pengekangan
nafsu, sedangkan kalbu (qalb, hati)
tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi
binasa karena melayani jiwa.[1]
B. HUBUNGAN
TASAWUF DENGAN SYARI’AT (FIQH)
Biasanya, pembahasan kitab-kitab
fiqh selalu dimulai dari thaharah (tata
cara bersuci), kemudian persoalan-persoalan fiqh lainnya. Akan tetapi,
pembahasan ilmu fiqh tentang thaharah atau lainnya tidak secara langsung terkait
dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Padahal, thaharah akan terasa lebih bermakna jika disertai pemahaman
rohaniahnya.
Persoalan sekarang, disiplin ilmu
apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqh dalam persoalan-persoalan tersebut?
Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena berhasil
memberikan corak batin terhadap ilmu fiqh. Corak batin yang dimaksud adalah
ikhlas dan khusyuk berikut jalannya msing-masing. Bahkan, ilmu ini mampu
menumbuhkan kesiapan manusia unuk melaksanakan hukum-hukum fiqh. Alasannya,
pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Ma’rifat
secara
rasa (al-ma’rifat adz-dzauqiyahi) terhadap
Allaaah SWT. melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari
sinilah, dapat diketahui kekeliruan pendapat yang menuduh perjalanan menuju
Allah SWT. (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum hukum
Allah SWT.
Berkaitan dengan persoalan ini,
Al-Junaid –seperti dikutip Sa’idd Hawwa- menuduh sesat golongan yang menjadikan
wushul (mencapai) Allah SWT.
merupakan tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syriat. Lebih tegas,
ia mengatakan, “Betul, mereka sampai, tetapi ke neraka saqar.”
Dahulu, para ahli fiqh mengatakan,
“Barang siapa mendalami fiqh, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang
siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqh berarti ia zindiq; barang siapa
melakukan keduanya, berarti ia ber-thaqquq
(melakukan kebenaran).” Tasawuf dan fiqh adalah dua disiplin ilmu yang
ssaling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti
terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan
tanpa fiqh atau menjauhi fiqh. Dengan kata lain, seorang ahli fiqh tidak
mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fiqh harus
bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf (sufi) pun harus mendalami dan
mengikuti aturan fiqh. Tegasnya, seorang faqih harus mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan fengan tata cara pengamalannya.
Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus
mengamalkannya. Berkaitan dengan ini, Syekh Ar-Rifa’i berkata, “Sebenarnya
tujuan akhir para ulama dan para sufi adalah satu.” Pernyataan ini perlu
dikemukakan sebab beberapa sufi yang “terkelabui” selalu menghujat setiap orang
dengan perkataan, “Orang yang tidak memiliki syekh, syekhnya adalah setan.” Ini
diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk syekhnya; atau dilontarkan
oleh sufi keliru yang tidak tahu cara mendudukkan tasawuf pada tempat yang
sebenarnya.
Para pengamat ilmu tasawuf mengakui
bahwa orang yang telah berhasil menyatukan tasawuf dengan fiqh adalah
Al-Ghazali. Kitab Ihyā’ ‘Ulūm Ad-Dini-nya
dapat dipandang sebagai kitab yang mewakili dua disiplin ini, di samping
disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsaafat.
Paparan di atas, telah menjelaskan
bahwa ilmu tasawuf dan ilmu fiqh adalah dua disiplin ilmu yang saling
melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa
kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam sesuai
dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini, dapat dipahami bahwa ilmu fiqh yang
terkesan sangat formalistik-lahirlah menjadi “sangat kering”, “kaku” dan tidak
mempunyai makna yang berarti bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan
muatan kesadaran rohaniah yang dimiliki oleh tasawuf. Begitu juga sebaliknya,
tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap “merasa suci” sehingga tidak perlu lagi
memerhatikan kesucian lahir yang diatur dalam fiqh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar