Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Kamis, 26 September 2013

Dinasti Ayyubiyah, Murabithun dan Muwahiddun

A.    Dinasty Ayyubiyah (1171-1250 M Atau 567-648 H)
1.      Sejarah Lahir dan Perkembangan Awal Dinasty Ayyubiyah
Ayubiyun merupakan keturunan Kurdi dari Azarbaijan yang melakukan migrasi ke Irak. Pendiri pemerintahan ini adalah Shalahudin Yusuf Bin Ayyub, ayah nya bernama Najmudin Ayyub yang merupakan gubernur Tikrit kemudian pindah ke Mushol lalu Damaskus, yang mana Dia dan saudaranya yang bernama Asadudin Syairakuh menjadi panglima dari kerajaan syam di bawah kekuasaan Nurudin Mahmud Zinki yang kemudian Asadudin menjadi wakil dari Nurudin di Mesir.
Setelah Asadudin meninggal, Ia digantikan oleh ponakanya yang bernama Shalahudin, kemudian setelah Nurudin Runtuh, Ia memisahkan diri sampai mengambil alih Damaskus, menguasai negeri Syam serta mengirim utusan untuk misi penaklukan Yaman[1]. Maka dengan berkuasanya Shalahudin berarti telah dimulai pula ekspansi islam di bawah panji dinasty Ayyubiyah dengan Ia sebagai pemiimpin pertamnya dengan julukanya sebagai the champion of Islam.[2] Pemimpin Dinasti Ayyubiyah secara urut, yaitu Salahuddin al-Ayyubi/Saladin(1169-1193 M), al-‘Aziz (1193-1198 M), al-Manshur Muhammad (1198-1199 M), al- ‘Adil I (1199-1218 M), Al-Kamil (1218-1238 M), Al-‘Adil II (1238-1240 M), Al-Shalih Najm al-Din/Salih Ayyub (1240-1249 M), Turan Syah (1250), Al-Asyraf Musa (1250-1252 M). Di antara para Khalifah tersebut,  hanya ada empat Khalifah yang terkenal, yaitu Saladin, Al-‘Adil I, Al-Kamil, dan Salih Ayyub.
2.      Masa Kejayaan Dinasty Ayyubiyah
Sebagian besar masa pemerintahan dinasty al-Ayyubi adalah untuk menghalau serangan-serangan tentara salib yang di pimpin oleh tiga raja yaitu : Frederik Barbarosa, Philips dan Ricard.
Masa keemasan dari pemerintaha dinasty Ayyubiyah adalah saat dibawah panji kepemimpinan Shalahudin al-Ayyubi atau orang barat sering menyebutnya sebagi Saladin saja. Salahudin al-Ayyubi menorehkan tinta kebesaranya dengan memenangkan peperangan di berbagai medan. Sebuah pertempuran yang paling masyhur  di dunia karena para umat kristiani mengalami kekalahan yang cukup telak yaitu perang Hiththin pada tahun 583 H / 1187 M, di perang ini, dia berhasil mengembalikan negeri Syam dari tangan orang-orang kristen[3]. Selain itu, terdapat kemajuan pula dalam bidang ilmu pengetahuan diantaranya dengan didirikannya tiga madrasah di Kiro dan Iskandariyah yang menjadi tempat pengembangan mazhab sunni, dan juga didirikan sebuah perguruan tinggi yang bernama al-Kamiliyah.
Selanjutnya saat panji pemerintahan dipegang oleh Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M), orang-orang barat sering memanggilnya Al-Adil nama lengkapnya adalah al-Malik al-Adil saifuddin Abu Bakar bin Ayyub. Dari nama Sifuddin inilah tentara salib memberi julukan Saphadin. Beliau putra Najmuddin Ayyub yang merupakan saudara muda Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.
Setelah kematian Salahuddin, Ia menghadapi pemberontakan dari Izzuddin di Mosul. Ia juga menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa ketika terjadi perselisihan diantara anak-anak Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yaitu al-Aziz dan  al-Afdal. Setelah kematian al-Aziz.al-Afdal berusaha meduduki jabatan Sultan, akan tetapi al-Adil beranggapan al-Afdal tidak pantas menjadi Sulatan. Akhirnya terjadilah peperangan antara keduanya, al-Adil nberhasil mengalahkan al-Afdal dan beliau menjadi Sultan di Damaskus.
Al-Adil merupakan seorang pemimpin pemerintahan danpengatur strategi yang berbakat dan efektif.
Pergantian panji pemeritahan berlanjut saat Al-Kamil menjabat sebagai sultan, nama lengkap al-Kamil adalah al-Malik al-Kamil Nasruddin Abu al-Maali Muhammad. Selain dipuja karena mengalahkan dua kali pasukan salib ia juga dicaci maki karena menyerahkan kembali kota Yerusalem kepada orang Kristen. Al-Kamil adalah putra dari al-Adil. Pada tahun 1218 al-Kamil memimpin pertahanan menghdapi pasukan salib yang mengepung kota Dimyat (Damietta) dan kemudian menjadi Sulatan sepeninggal ayahnya. Pada tahun 1219, Ia hampir kehilangan takhtanya karena konserpasi kaum kristen koptik. Al-Kamil kemudian pergi ke Yaman untuk menghindari konspirasi itu, akhirnya konspirasi itu berhasil dipadamkan oleh saudaranya bernama al-Mu’azzam yang menjabat sebagai gubernur Suriah.
Pada bulan Februari tahun 1229 M, al-Kamil menyepakati perdamaian selama 10 tahun denga  Federick II, yang berisi antara lain:
a.       Ia mngembalikan Yerusalem dan kota-kota suci lainnya kepada pasukan salib
b.      Kaum muslimin dan yahudi dilarang memalsuki kota itu kecuali disekitar Masjidil Aqsa dan Majid Umar.
Al-Kamil meninggal dunia pada tahun 1238 M. Kedudukannya sebagai Sultan digantikan oleh Salih al-Ayyubi.
3.      Batas-Batas Pemerintahan Ayyubiyah
Selain Syam dan Mesir, negeri-negeri di pessir Tharablis,Tunisia, Nawban, Hijaz dan Yaman juga tunduk di bawah pemerintahan Shalahudin, sehingga Ia telah  berhasil membentuk sebuah pemerintahan Islam yang sangat luas[4]. Selain itu, Salahudin tidak melakukan pemerintahan secara terpusat, melainkan melakukan pembagian kekuasaan atau sekarang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah. Adapun daerah daerah tersebut yaitu :
a.       Kesultanan Ayyubiyah di Mesir.
b.      Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus.
c.       Kesultanan Ayyubiyah Aleppo.
d.      Kesultanan Ayyubiyah Hammah.
e.       Kesultanan Ayyubiyah Homs.
f.       Kesultanan AyyubiyahMayafaikin.
g.      Kesultanan Ayyubiyah Sinjar.
h.      Kesultanan Ayyubiyah Hisn Kaifa.
i.        Kesultanan Ayyubiyah Yaman.
j.        Kesultanan Ayyubiyah Kerak.
4.      Wafatnya Shalahudin dan Keruntuhan Dinasty yang Telah di Bangunya
Panglima perang sekaligus khalifah yang bersahaja ini ahirnya menghembuskan nafas terahirnya pada tahun 589 H atau 1193 M di kota Damaskusd, kemudin digantikan oleh saudaranya yang bernama sultan al-Adil namun Ia meninggal setelah kalah dalam peperangan melawan tentara salib di kota Dimyath pada tahun 1218 M. Saat panji pemerintahan bernaung di bawah kepemimpinan al-Kamil, terjadi konflik internal yaitu perebutan kekuasaan yang mana al-Kamil merasa bahawa kedudukanya terancam oleh al-Mulk al-Mu’azam yang kemudian ia meminta bantuan kepada Frederik dengan Jerussalem sebagai hadiah, maka kemudian terjadi perjanjian dengan Frederik yang isinya sebagai berikut
1.      Jerussalem dengan Bethelhem, Nazareth dengan rute haji ke Jaffa dan Accre akan menjadi kekuasaan absolute kaisar, dengan pengecualian bahwa area masjid di Umar di Jerussalem tetap menjadi milik terbatas dari umat Islam.
2.      Tawanan –tawanan kristen dibebaskan.
3.      Kaisar harus melindungi sultan dari serangan-serangan musuh.
4.      Perjanjian ini berlaku selama dua tahun.[5]
Akibat dari perjanjian ini, berarti kekuasaan dinasty Ayyubiyah telah mendapat intervensi dari Barat. Shalahudin Sebagai seorang sultan yang toleran, zuhud, adil, pemurah dan penuh dengan sifat qana’ah. Hari yang sangat berkabung, umat Islam masa itu sangat kehilangan sosok yang begitu hebat, dalm prilaku dan digdaya di medan perang Saladin bukan hanya terkenal dengan pahlawan perang, ia juga terkenal sebagai pengayom dan pelindung para sarjana. Ia menyokong pengembangan kajian teologi, membangun bendungan, menggali kanal, juga membangun sekolah dan masjid. Di antara bangunan dan monumennya yang masih bertahan hingga sekarang adalah Citadel di Kairo. Shalahudin, pasca wafat nya beliau, tak satupun sultan penerusnya yang memiliki sifat seperti sifatnya, sampai ahirnya pamor pemerintahan yang telah di bangunya terus turun hingga kematian sultan terahirnya yang bernama al-Malik Saleh Najmudin. Istrinya yang bernama Syajaratud dur mengisi kepemimpinan setelah sebelumnya membunuh anak al-Malik Saleh yang bernama Turansyah hingga ahirnya dinasty ini benar-benar mati yang di barengi dengan munculnya pemerintahan Mamluk di Mesir.



B.     Dinasty Murabithun
1.      Sejarah Lahir dan perkembangan Awal Dinasty Murabithun
Al-Murobithun adalah salah satu dinasti islam yang berkuasa di magrib Andalusia (448-541 H / 1056-1147 M). Murabithun berasal dari kata ribath yang artinya semacam padepokan atau pesantren. Awal berdirinya dinasty ini dari Yahya Ibnu Ibrahim pemimpin suku Sanhaja yang melaksanakan ibadah haji pada tahun 1035-1036 M, yang mana sebelum pulang Ia sempat berguru Abu Imran al-Fasi di Qairawan dan meminta kepada gurunya agar mengirim muridnya yang paling pintar untuk menyebarkan Islam di kalangan sukunya naman ini di toalak karena tidak ada satupun murud gurunya yang berminat dikarenakan alam di daerah Yahya yang tandus. Kemudian Yahya berguru dengan Wajjaj di Magrawa dan Wajaj mengutus muridnya yang bernama Ibnu Yasin untuk menyertai Yahya dalam melakukan penyebaran Islam di beberapa suku di Afrika.
Saat Yahya Ibnu Ibrahim wafat, penyebaran Islam dibantu oleh saudaranya yang bernama Yahya Ibnu Umar, yang kemudian pengikut mereka bertambah banyak hingga mengirim utusan ke suku-suku lain bahkan gerakan mereka pun mengarah ke militer. Pada tahun 1059 M, Yahya Ibnu Umar wafat dan digantikan oleh Abu Bakar Ibnu Umar. Pada saat ini, ada gerakan spiritual yang dipimpin oleh Ibnu Yassin dan Gerakan struktural yang dipimpin oleh Ibnu Umar, inilah yang menjadi cikal-bakal dinasty Murabithun.
2.    Masa Kejayaan Dinasty Murabithun
Masa emas dari dinasty  ini diperoleh saat mereka dekomandoi oleh seorang pemimpin spiritual  (Abdullah bin yasin )dan seorang komandan  militer (Yahya Bin Umar ) mereka berhasil memperluas Wilayah kekuasaannya sampai diluar daerah dan juga mengalahkan kerajaan Sijil Al-Meignraw, tahun (447 H 1055-1056 M ).  Maka ketika Yahya meninggal maka jabatannya di ganti oleh Abu bakar bin Umar saudara Yahya. Maka kemuadian dibawah pimpinan Abi Bakar memperluas daerah kekuasaannya.
Selain perluasan wilayah, pada masa dinasty ini terjadi kemajuan dibidang keilmuan misalnya sebagai berikut :
a.       Filsafat
Pada masa dinasty Murobithun ini, perkembangan ilmu filsafat berjalan cukup pesat. Ini ditandai dengan kemunculan beberapa tokoh yang terkenal bahkan hingga sekarang, yaitu dengan munculnya tokoh seperti Ibnu Bajjah dengan karyanya yang terkenal yaitu Tadbir al-Muyla Wahis, yang berisi tentang filsafat etika dan masalah-masalah eskatologis. Filsuf selanjutnya yang muncul adalah Ibnu Thufail dengan karya yang paling fenomenal adalah yang berjudul Hay bin Yaqdzan.
b.      Sains
Sains bisa juga disebut sebagai riset ilmiah yang dilakukan oleh ilmuan, dalam hal ini ilmuan-ilmuan muslim lah yang melakukan riset-riset tersebut yang kemudian menghasilkan teory-teory ilmiah yang berkembang pada masa itu misalnya matematika, kimia, kedokteran, astronomi dan lain sebagainya. Adapun ilmuan-ilmuan yang lahir adalah misalnya Abbas bin Farmoy yang merupakan ahli kimia dan astronomi, Dia pula lah yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Kemudian Ibrahim Yahya An-Naqas terkenal dengan ilmu astronomi. Ia berhasil melakukan penelitian yang menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan berapa lama waktu terjadinya gerhana tersebut, bahkan Ia pun berhasil membuat teropong bintang yang mampu memperediksi jarak antara bintang dan tata surya. Ahmad bin Abbad dari Cordova menemukan ilmu dalam bidang obat-obatan, dan yang terahir adalah Ummu Hasan Binti Abi Jakfar dan Al-Hafiz yang merupakan saudara dan ahli di bidang kedokteran.
c.       Fiqih Mazhab Maliki
Mazhab maliki merupakan satu-satunya mazhab yang ada atau diterima oleh masyarakat dinasty ini, beberapa hal yang menjadi penyebabnya adalah : diperolehnya dukungan dari para fuqahak dan penguasa.
3.      Masa Kehancuran Murobithun
Masa kehancuran dinasty ini hampir serupa oleh dinasty-dinasty sebelumnya, yakni penyebab internal berupa perubahan sikap mental generasi penerusnya yang sebagian besar disebabkan oleh melimpahnya kemewahan. Mereka yang tadinya bersikap keras menjadi lembek sehingga menyebabkan melemahkan kekuatan dan menimbulkan kekalahan dalam medan pertempuran. Ahirnya takluk lah dinasty ini di tangan Muwahiddun.

C.    Dinasty Muwahiddun
1.      Sejarah Lahir dan Perkembangan Awal Dinasty Muwahiddun
Dinasty muwahiddun adalah dinasty yang menguasai afrika utara selama lebih dari satu abad yaitu pada tahun 515-667 H / 1121-1269 M. Nama muwahoddun sendiri mengacu pada arti tauhid yaitu kelompok yang faham akan tauhid, ini di latar belakangi oleh adanya prinsip dakwah dari Ibnu Tumart yang memerangi faham at-tajsim yang mana faham ini beranggapan bahwa Tuhan itu suatu substansi yang mempunyai bentuk atau biasa disebut dengan Antropomorfisme.
Dinasty muwahiddun didirikan oleh Muhammad Batumart pada tahun 1180 sampai 1130 Masehi. Mulanya, Batumart addalah seorang penyapu lantai di salah satu masjid di Cordova dan dia juga merupaka kaum murobithun. Cerita berawal ketika dinasty murobithun berkuasa, Ia tidak menyukainya karena ia menganggap bahwa murobithun adalah sebuah golongan atau sebuah pesantren yang menempat di masjid pula, namun malah berjaya dan bahkan menguasai Andalusia. Maka kemudian Ia pergi belajar ke Baghdad berguru dengan Imam Ghazali. Hampir serupa dengan murabithun, Tumart yang telah pintar kembali dan mendirikan padepokan dengan prinsip dakwah Ibnu Tumart. Muhammad Batumart pun telah berani mengkritik para pembesar-pembesar muwahidun. Kritikan-kritikannya berupa klaim bahwa murabithun telah keluar dari syari’at Islam an tidak lagi menjalankan sunnah Rasul bahkan mereka pun menganggap bahwa murabithun adalah golongan at-tajsim dan at-tajsim adalah perbuatan syirik. Maka kemudian berdasarkan prinsip dakwah Ibnu Tumart, bahwa kemungkaran haruslah dibrantas dengan kekerasa, maka ia pun mendapat tantangan dari para ulama bahkan ia diusir dari murabithun. Awalnya dakwah Tumart hanya bertujuan memurnikan akidah dan syari’at tanpa ada tujuan politik terhadap penguasa.namun setelah terjadi pengusiaran dari Ibukota dan setelah Ia tahu bahwa beberapa suku mendukung gerakannya, misalnya suku barbar, hantan haragan dan beberapa suku lainnya, maka timbullah ambisi baru yaitu menjatuhkan dinsty murabithun. Apalagi diketahui bahwa dinasty tersebut telah melemah, maka keinginan untuk menjatuhkan pun semakin kuat yang pada ahirnya tahun 514  tumart berhasil mendeklarasikan diri sebagai Al-Mahdi.
2.      Masa Kejayaan Dinasty Muwahiddun
Masa gemilang dari dinasty Muwahiddun diawali dengan usaha mereka untuk menguasai ibu kota pemerintaha dari dinasty murabithun yaitu Maruco pada tahun 1129 M, namun ternyata kekuatan Murabithun di Ibu kota massih cukup kuat sehingga Muwahiddun mengalami kekalahan yang cukup telak. Kemudian dibawah Abdul Mukmin, dibangunlah kekuatan yang semakin kuat, Ia persatukan suku-suku di sana dengan janji setia dan tidak akan memberontak. Di bawah pemimpinannya pula mMuwahiddun dapat menaklukan Nadhaa, Dir’ah, Tinger, Faz’ar dan Giyasah pada tahun 1131 M, dilanjutkan pada tahun berikutnya yaitu 1139M mereka melancarkan serangan ke Murabithun hingga ditaklukannya dinasty tersebut. Tidak luput Aljazair dan Tripoli pun jatuh pada tahun 1152 dan 1154 M. Ketika tahun 1162 M, sebagian wilayah Spanyol yang dikuasai kristen dapat direbut namun ambisi al-Mukmin untuk menaklukan pedalaman Spanyol harus kandas saat nafasnya terhenti sebelum pasukannya memperoleh keberhasilan.[6]
pasca wafatnya Abdul Mukmin, maka panji pemerintahan diduduki oleh puteranya yang bernama Abu Ya’qub Yusuf Ibnu Abdul Al-Mukmin, dimasa inilah puncak dari masa kegemilangan dinasty Muwahiddun. Langkah yang Ia lakukan guna memperluas wilayahnya dalah dengan misi menaklukan Toledo pada tahun 1169 M dan Andalusia pada tahun 1184 M[7]. Selain kemenangan-kemenangan yang diraih dalam medan pertempuran, beberapa hal yang menjadi pencapaian dinasty ini adalah:
a.       Di bidang militer
Kemajuan dalam bidang ini ditandai dengan kemampuan dalam bekerjasama dengan armada Salahuddin al-Ayyubi di Mesir untuk mengusir tentara salib[8].
b.      Di bidang ilmu pengetahun dan filsafat
Kemajuan ini ditandai dengan munculnya nama-nama besar di bidang ilmu penengetahuan seperti:
1.      Ibnu Rusyd, ahli di bidang filsafat.
2.      Ibnu Malik, yang ahli di bidang ilmu nahwu.
3.      Hafizd Abu Bakar al-Jadd, ahli dalam bidang fikih.
4.      Abi Bakaar Ibnu Zuhr, yag ahli di bidang ilmu kesehatan.
c.       Di bidang arsitektur
Pada masa dinasty Muwahiddun, pemerintahannya memberikan perhatian dibidang ini tujuannya agar masyarakat dapat mengambil manfaat dan untuk menarik para wisatawan masa itu. Contoh bangunan yang menandakan kemajuannya adalah:
1)      Giralda : merupakan elemen masjid berupa menara.
2)      Bab Aguwanatu dan al-Kuhdiah yang merupakan menara indah di Maroko.
3.      Masa kehancuran dinasty Muwahiddun
Pada tahun 1198 M, Abu Ya’qub meninggal, setelah memperoleh luka yang parah pasca peperangan menghadapi kristen di Lisbon, dan setelah itu perlahan muwahiddun melemah. Bersamaan dengan itu, pasukan salib yang dahulunya dikalahkan oleh Salahuddin, kembali ke Eropa dan menggalang kekuatan baru, dan di bawah pimpinan Alfonsi IX, pasukan salib yang dahulu selalu mengalami kekalahan jika menyerang Andalusia, kini meraih kemenangan, maka dengan kekalahan Muwahiddun, hilanglah kesultanan muslim di Andalusia. Berikut daftar pemimpin dinasty Muwahiddun :
a.       Muhammad bin Tumart Al Mahdi (1121-1130 M)
b.       Abdul Mun’im bin Ali (1130-1163 M)
c.        Abu Ya’kub Yusuf (1163-1184 M)
d.       Abu Yusuf Ya’kub al Mansur (1184-1198 M)
e.        Muhammad An Nasir (1198-1214 M)
f.        Abu Yusuf Ya’kub Al Mustansir (1214-1224 M).




[1]               Ahmad al-Uzairy, Sejarah Islam. Samson Rahman Penerjemah, (Jakarta; Akbar, 2003) hlm 295.
[2]               Ibrahim, Hassan. 1968. Sejarah dan kebudayaan Islam Human. Djahdan.penerjemah. cet 1 (Yogyakarta : Kota Kembang. 1989). Hlm. 285.
[3]               Ahmad al-Uzairy, Sejarah Islam. Hlm 257.
[4]                Ahmad al-Uzairy, Sejarah Islam, hlm 296.
[5]               Jaih Mubarak, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Bani Quraisy, 2004), hlm 108.
[6]               Jain Mubarak, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 103.
[7]               Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1993), Jilid III, hlm. 321.
[8]               Syalabi, Mawsu At Al-Tarikh Al-Islamiyah Wa Al Hadarat Al Islamiyah,  terjemahan (Beirut: Darul al-Fikr, tth) hlm. 152.

Sejarah Peradaban Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib

A.    Khalifah Utsman bin Affan
1.                   Kelahiran Utsman bin Affan
Nama lengkap dari Khalifah Utsman bin Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abd Al-Manaf dari suku Quraisy. Lahir pada tahun 576 M, yaitu 6 tahun setelah penyerangan ka’bah oleh pasukan bergajah atau 6 tahun setelah kelahirannya Rasulallah SAW. Ibu dari Khalifah Utsman bin Affan yaitu Ulfi bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin Abdi Asy-Syams bin Abd Al-Manaf. Usman bin Affan masuk islam pada usia 30 tahun, dan masuknya karena di ajak oleh Abu Bakar. Setelah Utsman bin Affan masuk islam, ia sering mendapat siksaan dari pamannya,yaitu Hakim bin Abil Ash. Nama pamannya di juluki dengan sebutan dzun nurain, karena menikahi dua putri Rasulallah SAW. Secara berurutan setelah yang satu meneinggal, yakni Ruqayyah dan Ummu Kulsum.[1]
Khalifah utsman bin Affan adalah seseorang yang sangat rajin dalam melakukan ritual ibadah dan juga sosial. Utsman hidup bersama istrinya dan kemudian iku hijrah ke Abesinia dan itu termasuk muhajir pertama ke yastrib. Dalam kesehariannya ia gunankan untuk ibadah saum dan dalam malam harinya ia gunakan untuk sholat. Utsman bin Affan juga sangat gemar membaca Al-Qur’an, sehingga untuk shalat dua rakkat saja ia menghabiskan waktu yang sngat lama, bahkan ketika Utsman bin Affan meninggal dunia Al-Qu’annya itu berada dalam pangkuannya. Kesalehan Utsaman bn Affan itu tidak bisa diragukan lagi, Salah buktinya adalah Utsman bin affan sebelum meninggal dunia ia membeli telaga milik Yahudi dengan harga 12.000 dirham dan menghibahkannya kepada kaum muslimin pada saat hijrah ke Yastrib. Utsman bin Affan merupakan orang yang sangat penyayang, sehingga ketika suatu pagi Utsman hendak mengambil air wudu untuk melakukan sholat, ia tidak tega membangunkan pelayannya untuk melayaninya berwudu, padahal ia sedang sakit dan sudah udzur.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW. Utsman bin Affan mengikuti beberapa peperangan, di ntaranya yaitu perang Uhud, Khaibar, pembebasan kota mekah, perang Thaif, Hawazin, dan Tabuk. Perang yang tidak di ikuti oleh Utsman pada saat itu adalah Perang Badar karena disuruh oleh Nabi Muhammad SAW untuk menunggu istrinya yang sedang sakit dan sampai meninggalnya.

2.      Proses Pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan
Sebelum meninggalnya Utsman bin Affan, ia telah memanggil tiga calon untuk menggantikannya sebagai Khalifah Umar. Calon yang telah dipilih oleh Umar yaitu Utsman, ‘Ali, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Ketika semua calon terkumpul dalam pertemuan yang diadakan oleh Khalifah Umar, Ia berpesan bahwa seseorang yang menggantikannya sebagai  Khalifah selanjutnya, agar tidak mengangkat kerabat sebagai pejabat. Disamping itu Umar telah membentuk dewan formatur bejumlah 6 orang, bertugas untuk memilih penggantinya kelak, yaitu Ali, Utsman, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abd Ar-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Di samping itu Abdullah bin Umar juga dijadikan sebagai anggota, tetapi tidak memiliki tidak memiliki hak suara.
a.       Mekanisme dalam suatu pemilihan Khalifah ditentukan sebagai berikut:
1)      Yang berhak menjadi Khalifah adalah yng dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak.
2)      Apabila suara terbagi secara berimbang, Abdullah bin Umar yang berhak menentukannya.
3)      Apabila campur tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat menjadi Khalifah.
Dengan adanya mekanisme atau aturan yang telah dibentuk, salah satu anggota dari calon Khalifah yaitu Ali, dia mengkhawatirkan dengan mekanisme itu. Karena Abd Ar-Rahman yang mempunyai kedudukan strategis dalam pemilihan (deadlock) tidak bisa berlaku a Utsman dan Abd Ar-Rahman terdapat hubungan kekerabatan. Kemudian Ali meminta Agar Abd Ar-Rahman berjanji agar selalu berlaku adil, tidak memihak, tidak mengikuti kemauan sendiri, tidak mengistimewakan keluarga, dan tidak menyulitkan uamat. Setelah Abd Ar-Rahman berjanji, Ali pun menyetujuinya.
Langkah yang pertama dilakukan oleh Abd Ar-Rahman setelah meninggalnya Umar adalah meminta pendapat kepada anggota formatur agar membicarakan calon yang tepat untuk menjadi Khalifah selanjutnya. Dengan tujuan tidak ada kekecewaan yang terjadi di hari esok dan tidak ada konflik yang tidak diinginkan. Kemudian setelah musyawarah yang dilakukan para formatur di pilihlah dua calon Khalifah, yaitu Utsman dan Ali. Kemudian saat diadakan pemilihan suara di luar sidang formatur yang dilakukan oleh Abd Ar-Rahman, terjadi pemilihan silang antara Utsman dan Ali. di samping itu, Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqqash memberikan suaranya pada Utsman. Sementara Thalhah tidak ditanya untuk memberikan suaranya terhadap calon Khalifah, karena Thalhah pada saat itu, sedang berada di luar madinah dan tidak bisa dihubungi. Setelah pemilihan itu selesai, Abd Ar-Rahman bermusyawarah dengan masyarakat dan para pembesar di luar anggota formatur. Hasil dari pemilihan tersebut, ternyata masyarakat terbagi dalam dua kubu, yaitu kubu Bani Hasyim dan kubu Bani Ummayah.
Setelah bermusyawarah dengan para pembesar dan masyarakat, Abd Ar-Rahman memanggil Ali untuk menanyakan, bagaimana jika terpilih menjadi Khalifah, apakah dia sanggup dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan ketentuan dari Al-Qur’an, sunnah Rasul, dan kebijakan yang dilaukan dua Khalifah sebelumnya? Kemudian Ali hanya menjawab, bahwa dia akan melakukan tuganya dengan sejauh pengetahuan dan kemampuan yang ia miliki. Kemudian setalah selesai mengajukan kepda Ali, Abd Ar-Rahman memanggil Utsman dan memberikan petanyaan yang sama seperti pertanyaan yang dii ajukan kepada Ali. Lalu Utsman menjawab dengan tegas bahwa ia sanggup dalam tugas yang di ajukan kepadanya sebagai Khalifah selanjutnya.
Abd Ar-Rahman pun memberikan keputusan hasil dari pemilihan dan musyawarah yang telah dilakukan sebelumnya, dan juga berdasarkan jawaban dari  pertanyaan yang di ajukan oleh Abd Ar-Rahman kepada calon Khalifah, bahwa yang berhak menjadi Khalifah ke tiga  adalah Utsman bin Affan, dan setelah itu disegerakanlah melaksankan bai’at. Pada saat Utsman di angkat menjadi Khalifah, usianya itu 70 tahun. Pada saat itu Ali sangat kecewa dengan cara yang di lakukan oleh Abd Ar-Rahman tersebut, bahkn Ali menuduh bahwa dengan terpilihnya Utsman bin Affan menjadi Khalifah itu sudah di rencanakan sebelumnya antara Abd Ar- Rahman dan Utsman, oleh karenanya pada saat itu Ali beranggapan bahwa yang berkuasa adalah kelompok Abd Ar-Rahman bin Auf.
3.      Masa Pemerintahan dan Peradaban Utsman bin Affan 
Masa pemerintahan Utman bin Affan merupakan masa kepemimpinan yang paling lama dibandingkan dengan Khalifah sebelumnya. Berikut data periode  kepemimpinan dari Khalifah setelah Nabi SAW:
1)      Abu Bakar Ash-Shiddiq: 2 tahun, 11-13 H./ 632-634 M.
2)      Umar bin Khattab: 10 tahun, 13-23 H./ 634-644 M.
3)      Utsman bin Affan: 12 tahun, 24-36 H./ 644-656 M.
4)      Ali bin Abi Thallib: 5 tahun, 36-41 H./ 656-661 M.
Di awal kepemimpinan Utsman bin Affan, kira-kira 6 tahun Khalifah Utsman sudah banyak prestasi didalam pemerintahannya. Yaitu dengan bertambahnya perluasan pemerintahan Islam di kawasan Asia dan Afrika, seperti daerah Herat, Kabul, Ghazni, Asia Tengah, Armenia, Tunisia, Cyiprus, Rhodes,dan bagian yang tersisa dari  Persia. Utsman juga berhasil menumpas pemberontakan yang dilakukan orang Persia, selain itu didalam ilmu sosial budaya juga Utsman bin Affan telah membangun bendungan besar untuk mencegah banjir dan mengatur pembagian air ke kota. Utsman bin Affan juga membangun jalan, jembatan, masjid, rumah penginapan para tamu dalam berbagai bentuk, serta memperluas Masjid Nabi di Madinah, yang telah dilengkapi dengan khafilah dan fasilitas bagi para pendatang. Tempat persedian air dibangun di Madinah, di kota-kota padang pasir, dan di ladang-ladang peternakan unta dan kuda.
 Semua pembangunan sarana umum tersebut, menunjukan bahwa Utsman bin Affan sebagai khalifah yang sangat memperhatikan kemaslahatan publik sebagai bentuk dari manifestasi kebudayaan sebuah masyarakat.
 Utsman bin Affan juga  ketika menjadi Khalifah, ia mempunyai karya besar monumental Khalifah Utsman, yaitu membukukan suatu mushaf Al-Qur’an. Dalam pembukuannya itu didasarakan atas alasan untuk mengakhiri suatu perbedaan bacaan di kalangan umat Islam yang mana hal tersebut di ketahui pada saat ekspedisi militer ke Amerika dan Azerbaijan. Pembukuan dilaksanakan oleh suatu kepanitiaan yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit.

4.      Visi dan Misi Khalifah Utsman bin Affan
Ketika Utsman bin Affan menjadi Khalifah, beliau mempunyai visi dan misi dalam menjalankan kekhalifahannya, dapat dilihat dari isi pidato setelah Utsman bin Affan dibai’at menjadi Khalifah  ketiga negara Madinah.
Pidato yang di kutip oleh Al-Maududi dan At-Thabari dan juga Suyuthi pulungan, yaitu berisi:
“ Sesungguhnya tugas ini telah dipikulkan kepadaku dan aku telah menerimanya dan sesungguhnya aku adalah seorang muttabi’ ( pengikut Sunnah Rasul ) dan bukan mubtadi’ ( orang yang berbuat bid’ah ). Ketahuilah bahwa kalian berhak menuntut aku mengenai tiga hal, selain kitab Allah dan Sunnah Nabi, yaitu mengikuti aapa yang telah di lakukan oleh orang-orang sebelumku dalam hal-hal yang kamu sekalian telah bersepakat dan telah kamu jadikan sebagian sebagian kebiasaan, membuat kebiasaan yang layak bagi ahli kebajikan dalam hal-hal yang belum kamu jadikan kebiasaan dan mencegah diriku bertindak atas kamu, kecuali dalam hal-hal yang kamu sendiri menyebabkannya[2].”
Pidato diatas, menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang corak politik an sich. Dalam pidato itu, Utsman mengingatkan beberapa hal penting:
1)      Agar umat Islam selalu berbuat baik sesuai kemampuan sebagai bekal menghadapi hari kematian dan akhir sebagai tempat yang lebih baik yang disediakan oleh Allah;
2)       Agar umat Islam jangan terpedaya kemehan hidup dunia yang penuh kepalsuan sehigga membuat mereka lupa kepada Allah;
3)      Agar umat Islam mau mengambil iktibar pelajaran dari masa lalu, mengambil yang baik dan menjauhkan yang buruk;
4)      Sebagai Khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul;
5)      Di samping itu Utsman akan meneruskan apa yang telah dilakukan pendahulunya, jug akan membuat hal-hal baru yang membawa pada kebijakan;dan
6)      Umat Islam boleh mengkritiknya bila Utsman menyimpang dari ketentuan hukum.
Dalam pidato pembai’atnya, Utsman tegaskan akan meneruskan kebiasaan yang dibuat pendahuluanya. Pemegang kekuasaan tertinggi berada di tengah khalifah; pemegang kekuasan eksekutif. Pelaksanaan tugas eksekutif. Pelaksanaan tugas eksekutif di pusat dibantu oleh sekretris negara dan dijabat oleh Marwan bin Hakam, anak paman khalifah. Dalam praktiknya, Marwan tidak hanya sebagai sekretaris negara, tetapi juga sebagai penasihat pribadi khalifah. Selain sekretaris negara Khalifah Utsman juga dibantu oleh pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat keuangan atau Baitul Mal, seperti pada masa pemerintahan Umar.
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan di daerah, Khalifah Utsman mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi.  Pada masanya, wilayah kekuasaan Negara Madinah dibagi menjadi sepuluh provinsi:
1)      Nafi’ bin Al-Haris Al-Khuza’I, Amir wilayah Mekah;
2)      Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi, Amir wilayah Thaif;
3)      Ya’la bin Munabbih Halif Bani Naufal bin Abd Manaf, Amir wilayah Shan’a;
4)      Abdullah bin Abi Rabi’ah, Amir wilayah Al-Janad;
5)      Utsman bin Abi Al-Ash Ats-Tsaqafi, Amir wilayah Bahrain;
6)      Al-Mughirah bin Syu’bah Ats-Tsaqafi, Amir wilayah Kufah;
7)      Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ari, Amir wilayah Bashrah;
8)      Muawiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus;
9)      Umar bin Sa’ad, Amir wilayah Himsh; dan
10)  Amr bin Al-Ash As-Sahami, Amir wilayah Mesir.

Setiap Amir adalah wakil dari Khalifah di daerah untuk melaksanakan tugas administrasi pemerintahan dan bertanggung jawab kepadanya. Seorang amir di angkat dan di berhentikan oleh Khalifah. Kedudukan amir di samping kepala pemerintahan daerah, amir juga sebaga pemimpin agama, pemimpin akspedisi militer, penetap undang-undung, dan pemutus perkara, yang di bantu oleh khatib ( sekretaris ), pejabat pajak, pejabat keuangan ( baitul mal ), dan pejabat kepolisian.
Adapun kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Penasehat atau Majlis Syura, yang mana itu sebagai tempat Khalifah mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi terkemuka. Majlis Syura juga merupakan suatu memberikan saran, usul, dan nasehat kepala khalifah tentang berbagai masalah penting yang dihadapi Negara. Akan tetapi, pengambilan keputusan terakhir berada pada tangan khalifah. Artinya  ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dibicarakan di dalam majelis itu dan diputuskan oleh khalifah atas persetujuan anggota majelis. Dengan demikian, Majelis Syura diketuai oleh khalifah.    

5.      Tragedi Perang Pada Pemerintahan Utsman bin Affan dan Wafatnya  
Pada saat pemerintahan Utsman bin Affan, ada peristiwa peperangan yang terjadi, yaitu perang dinamakan “Perang Zatis Sawari” atau nama lain dari “Perang Tiang Kapal”, yaitu suatu peperangan di tangah lautan yang belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., Khalifah Abu Bakar, dan Umar. Disebut dengan Perang Zatis Sawari, karena pada perang tersebut dilakukan di Laut Tengah dekat kota Iskandariyah antara tentara Romawi yang dalam pimpinan Khaisar Constantine dan laskar kaum muslimin dalam pimpinanya Abdullah bin Abi Sarah yang membawa pasukan umat islam kurang lebih sebanyak 200 kapal.
Setelah melewati masa dengan berbgaai prestasi, pada titik terakhir Khalifah Utsman menghadapi pemberontakan dan pembangkangan di dalam dan di luar negri. Pemberontakan yang di dalam  negri itu lebih terpusat pada kebijakan-kebijakan Khalifah yang nepotis, harta kekayaan umum yang hanya berputar pada kalangan keluarga dan sikapnya yang tidak tegas terhadap sahabat utama. Adapun di luar negri, pemberontakan lebih banyak berasal dari negri-negri yang ditaklukan, seperti Romawi dan Persia yang menambah dendam dan sakit hati karena sebagian wilayahnya telah diambil oleh kaum muslimin. Selain itu juga fitnah yang disebarkan oleh orang Yahudi dari suku Qainuqa dan Nadhir serta Abdullah bin Saba. Pemberontakan dan pembangkangan yang terjadi ini menyebabkan tewasnya Khalifah Utsman pada tahun 35 H.

B.     Khalifah ali bin abi thalib
1.                   Proses pengangkatan ali bin abi thalib
Pengukuhan ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khlifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam di Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsaman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, da Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih mengingatkan Ali menjadi khalifah. Setalah massa rakyat mengemukakan bahwa umat islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Riwayat lain menyakatakan mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di Kufah dan Bashrah. Akan tetapi, riwayat lain Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali [3].
Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukan sikap konfrontasi adalah Muawiyah bin Abi Sufyah, keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.
Setelah Ali bin Abi Thalib dibai’at menjadi khalifah di masjid Nabawi, ia menyampaikan pidato penerimaan jabatannya sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk yang menerangkan yang baik dan yang buruk maka hendaklah kamu ambil yang baikdan tinggalkan yang buruk. Kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke surga, Sesungguhnya Allah telah mengahramkan apa yang haram, dan memuliakan kehormatan seorang muslim, berarti memuliakan kehormatan seluruhnya, da memuliakan keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim. Hendaklan setiap muslim menyelamatkan manusia dengan kebenaran lisan dan tangannya. Tidak boleh menyakitkan seorang muslim, kecuali ada yang membolehkannya. Segeralah kamu melaksanakan urusan kepentingan umum. Sesungguhnya (urusan) manusia menanti di depan kamu dan orang yang di belakang kamu sekarang bisa membatasi, meringnkan (urusan) kamu. Bertakwalah kepada Allah sebagai hamba Allah kepada hamba-hamba-Nya dan negeri-Nya. Sesungguhnya kamu bertanggung jawab (dalam segala urusan) termasuk urusan tanah dan binatang (lingkungan). Dan taatlah kepada Allah dan jangan kamu mendurhakainya. Apabila kamu melihat yang baik, ambillah dan jika kamu melihat yang buruk, tinggalkanlah. Dan ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi.” “Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam.”

2.      Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul Muthallib. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. yang kemudia menjadi menantunya karena menikahi putri Nabi Muhammad SAW., Fatimah. Ia masuk Islam ketika usianya sangat muda dan termasuk orang pertama masuk Islam dari golongan pria.
Mahmudunnasir selanjutnya menulis bahwa Ali termasuk salah seorang yang baik dalam memainkan pedang dan pena, bahkan ia dikenal sebagai seorang orator.
Menurut Ali Mufrodi, setelah wafatnya Utsman bin Affan, banyak sahabat yang sedang mengunjungi wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, yang di antaranya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menyebabkan perpecahayan di kalangan umat Islam menjadi empat golongan, yakni: 1) Pengikut Utsman, yaitu yang menuntut balas atas kematian Utsman dan mengajukan Muawiyah sebagai khalifah; 2) pengikut Ali. ‘yang mengajukan Ali sebagai  khalifah; 3) kaum moderat, tidak mengajukan calon, menyerahkan urusannya kepada Allah; 4) golongan yang berpegang pada prinsip jamaah, di antaranya Salad bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari, Ushaman bin Zaid, dan Muhammad bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang sahabat dan tabi’in yang memandang bahwa Utsaman dan Ali sama-sama sebagai pemimpin [4].
Ali adalah calon terkuat untuk menjadi khalifah, karena banyak didukung oleh para sahabat senior, bahkan para pemberontak kepada khalifah Utsman mendukungnya termasuk Abdullah bin Saba [5], dan tidak ada seorang pun yang bersedia dicalonkan. Asal mulanya, Ali menolak pencalonan dirinya, namun kemudian menerimanya demi kepentingan Islam pada tanggal 23 Juni 656 M [6]. Alasan penolakan Ali karena ia selalu berpandangan bahwa, “ada orang yang lebih baik daripadanya.”
Yang pertama dilakukan Khalifah Ali adalah menarik kembali semua tanah yang telah dibagikan Khalifah Utsman kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan negara dan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat, di antaranya Ibnu Amir penguasa Bashrah diganti Utsman bin Hanif, Gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi menolak, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali [7].
Pemerintahan Khalifah Ali merupakan pemerintahan yag tidak stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri. Pemberontakan pertama dating dari Thalhah dan Zubair diikuti oleh Siti Aisyah yang kemudian terjadi Perang Jamal karena Siti Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam perang melawan Ali. Pemberontak kedua dating dari Muawiyah, yang menolak meletakkan jabatan.
Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan bai’at oleh Thalhah dan Zubair, karena alasan bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh Khalifah Utsman. Siti Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair untuk menentang Khalifah Ali, karena alasan penolakan Ali menghukum pembunuh Utsman [8], bisa juga karena alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah bin Zubair.
Khalifah Ali telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan kompromi, tetapi beliau tidak berhasil sampai akhirnya terjadi pertempuran antara Khalifah Ali bersama pasukannya dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah bersama pasukannya. Perang ini terjadi pada tahun 36 H. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri dam Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Setelah Khalifah menyelesaikan pemberontakan Thalhah dan Zubair, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke Kufah.
Peperangan antara umat Islam terjadi lagi, yaitu antara khalifah Ali bersama pasukannya dengan Muawiyah sebagai gubernur Suriah bersama pasukannya. Perang ini terjadi karena khalifah Ali ingin menyelesaikan pemberontakan Muawiyah yang menolak peletakan jabatan dan secara terbuka menentang khalifah dan tidak mengakuinya. Perangan ini terjadi di kota Shiffin pada tahun 37 yang hamper saja dimenangkan oleh Khalifah Ali. Atas kecerdikan Muawiyah yang dimotori oleh panglima perangnya Amr bin ash, mengacungkan Al-Qur’an dengan tombakny, mempunyai arti bahwa mereka mengajak berdamai dengan menggunakan Al-Qur’an.

3.      Peristiwa Tahkim pada Masa Ali bin Thalib
Konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyah diakhiri dengan tahkim.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali bin Ibn Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abu Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Pendukung Ali Ibn Abi Thalib, kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama adalah mereka yang secara terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali Ibn Abi Thalib, kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib.
Khawarij tampaknya tidak lagi berada dalam jalur politik, tetapi berada dalam wilayah atau jalur teologi atau kalam yang merupakan fondasi bagi keberagamaan umat Islam. Khawarij dinilai keluar dari wilayah politik karena menilai kafir terhadap orang-orang yang telah terlibat dan menerima tahkim. Khawarij tidak lagi dinilai sebagai aliran politik, tetap dianggap sebagai aliran kalam[9].
Pendukung yang fanatik terhadap Ali Ibn Abi Thalib dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syi’ah. Golongan yang keluar dari barisan Ali tersebut biasa disebut sebagai Khawarij. Kerepotan khalifah dalam menyelesaikan kaum Khawarij ini digunakan Muawiyah untuk merebut Mesir. Padahal, Mesir dapat dikatakan sebagai sumber kemakmuran dan ekonomi dari pihak Ali.
Akibat pemerontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali, banyak pengikut Ali gugur dan juga berkurang serta hilangnya sumber ekonomi dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan charisma khalifah menurun.
Pemberontakan yang hebat dari Thalhah dan Zubair memperlemah kedudukan Ali dan memperkuat kekuasaan Muawiyah. Pemberontakan-pemberontakan terjadi pula di Bashrah, Mesir, dan Persia untuk mendapatkan kemerdekaa.
Ali hanyalah seorang jenderal dan seorang prajurit yang gagah berani, sedangkan Muawiyah adalah seorang diplomat yang licik dan seorang politikus yang pintar. Dengan cerdik, dia memanfaatkan pembunuhan Khalifah Utsman untuk menjatuhkan nama dan memperlemah Khalifah Ali dan membantu rencananya. Karena gagal dalam menggunakan pedang, Muawiyah dan sekutunya menipu dan mengalahkan Khalifah Ali dengan permainan kecerdikan dan kelicikan di dalam Perang Siffin [10].
Kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh Ali; Muawiyah dan Amar memilih seorang khalifah yang sehaluan dengan mereka. Karena itu, Abdurrahman, pengikut setia kaum Khawarij, memberikan pukulan yang hebat kepada Ali sewaktu dia akan adzan di masjid. Pukulan itu fatal, dan Khalifah Ali wafat pada tanggal 17 Ramadhan 40 H., bertepatan denga tahun 661 M [11].
Dalam kisah lain diceritakan bahwa kematian Khalifah Ali diakibatkan oleh pukulan pedang beracun Abdurrahman ibn Muljam, sebagaimana dijelaskan Philip K. Hitty, bahwa:
“pada tanggal 24 Januari 661, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, ia terkena hantaman pedang beracun di dahinya. Pedang yang mengenai otaknya tersebut diayunkan oleh seorang pengikut kelompok Khawarij, Abd Ar-Rahman ibn Muljam, yang ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita, temannya, yang terbunuh di Nahrawan. Tempat terpencil di dekat Kufah, yang menjadi makam Ali, kini Masyhad Ali di Najaf, berkembang menjadi salah satu pusat ziarah terbesar dalam agama Islam.”



[1] Ira M. Lapidus. History of Islamic Societies. Jakarta: Raja Grapindo Persada  
[2] Abd Al-Wahid An-Najjar. 1990. Al-Khulafᾱ Ar-Rasyidin. Beirut: Dᾱr Al-Kutub Al-Ilmiyat, hlm. 247-248.
[3] . Ath-Thabari, op.cit., hlm. 448-457; Lihat pula Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 153.
[4] . Abudin Nata.Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasafuf. Jakarta: Rajawali Press, 1995, hlm. 14.
[5] Syed Mahmudunnasir, op. cit.
[6] . Ali Mufordi, Loc. cit., hlm. 64.
[7] . Syed Mahmudunnasir, op. cit., hlm. 145.
[8] Asy Syalab. At-Tarikhu Al-Islami Wa-Alhadlii-ata Al-Islamiyah. Terj. Prof. Dr. Mubtar Yahya.
[9] . ibid. M. Ali As-Sayis, op. cit.,
[10] . ibid. Syed Mahmudunnasir, op. cit.,
[11] . ibid. hlm. 149