A.
Pengumpulan
Al-Quran
Berbagai
macam istilah yang digunakan dalam pengumpulan Al-Quran. Mengutip Subhi
As-Shalih bahwa penghimpunan Al Quran memiliki dua pengertian. Keduanya
disebutkan dalam nash. Dalam Al Qiyamah Allah bberfirman: “ Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah penghimpunannya (di dalam dadanya) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Kata menghimpunnya (jam’ahu) bermakna penghafalannya. Orang-orang
yang hafal Al-Quran disebut Jumma’aul Qur’an atau Huffadzul Qur’an. Makna yang
lain dari kata penghimpunan (jam’ahu) ialah penulisan yakni penulisan seluruh
Al-Quran yang memisahkan masing-masing ayat dan surat atau hanya mengatur semua
ayat Al-Quran saja dan susunan tiap surat di dalam suatu shahifah tersendiri
atau mengatur susunan semua ayat dan Sutar di dalam beberapa shahifah yang
kemudian disatukan sehingga mejadi suatu koleksi yang merangkum semua surat
yang sebelumnya telah disusun satu demi satu. [1]Sedangkan
menurut Taufiki Adnal Amal ialah unit-unit wahyu yang diterima Muhammad pada
faktanya dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara utama: menyimpannya ke
dalam dada manusia atau menghafalkannya dan merekammnya secara tertulis di atas
berbagai jenis bahan untuk menulis.
Jadi ketika para
sarjana muslim berbicara tentang jam’ul Al-Quran pada masa nabi maka yang jdi
ketika para sarjan muslim berbicara tentang jam’ul Al-Quran pada masa Nabi maka
yang dimaksudkan dengan ungkapan ini pada dasarnya ialah pengumpulan wahyu yang
diterima Nabi melalui kedua cara tersebut baik sebagian maupun seluruhnya. [2]Mengutip
Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni yang diterjemahkan Muhammad Qodirun Nur dalam
ikhtisar Ulumul Quran praktis mengataka bahwa kata pengumpulan diartikan
menghafal dan mengeluarkan dari dada para sahabat. Diartikan pula penulisan
atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun dari uraian di atas intinya sama
yaitu memiliki dua arti berupa penghafalan dan penulisan.
Kemudian Al-Quran sendiri dikumpulkan
pada dua masa yaitu masa Rasulullah dan masa Khulafaur Rasyidin. Masing-masing
tahap pengumpulan memiliki keistimewaan sendiri. Lebih rincinya ada pada
pembahasan di bawah ini.
1.
Masa
Rasulullah SAW
a. Pengumpulan
Al-Quran dalam dada
Al-Quran diturunkan kepada Nabi yang
ummiy. Maka Nabi hanya tercurahkan untuk menghafal dan melahirkannya agar ia
dapat dihafal sebagaimana diturunkan kepadanya. Lantas beliau membacakannya
kepada manusia agar mereka dapat hafal dan melahirkannya (membacakannya).
Usaha keras Nabi untuk menghafal
Al-Quran terbukti setiap malam beliau membaca Al-Quran dalm shalat sebagai ibadah membaca dan
merenungkan maknanya. Maka tidak heran jika Rasul menjadi sayyid para huffazh.
Hatinya yang mulia itu penuh dengan Al-Quran. Beliau menjadi tempat bertanya
bagi setiap muslimin yang kesulitan tentag Al-Quran. Demikian pula para
sahabat. Mereka selalu berlomba-lomba membaca dan menghafalkannya. Mereka
mengajarkan kepada istri dan anak-anak di rumah mereka. Rasul telah mengobarkan
api semangat mereka menghafalkan Al-Quran. Beliau mengutus orang-orang tertentu
untuk mengajar dan membacakan Al-Quran kepada penduduk ke pelosok-pelosok.
Dengan demikian pada masa ini tidak terhitung jumlah huffazh. [3]Sedangkan
para sahabat yang terkenal pandai mengajarkan bacaan Al-Quran ialah: Utsman bin
Affan, Ali bin Abi halib, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud,
Abu Durba dan Abu Musa Al-Asy’ari.[4]
Sungguh merupakan keistimewaan luar biasa bagi
umat Muhammad di mana kitab suci ini
dapat dihafal di dalam dada mereka
karena Allah telah menjaganya dengan pertolongan-Nya. Dia memudahkannya untuk
dihafal. Dia menjaganya dari kemungkinan perubahan dan pergantian dengan cara
menjaganya dalam dada.[5]
Firmannya:
$¯RÎ)
ß`øtwU
$uZø9¨tR
tø.Ïe%!$#
$¯RÎ)ur
¼çms9
tbqÝàÏÿ»ptm:
ÇÒÈ
”Sesungguhnya Kami-Lah
yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” ( Al-Hijr:9)
b. Pengumpulan Al-Quran Pada Tulisan
Keistimewaan yang kedua dari
Al-Qur’anul Karim ialah pengumpulan dan penulisannnya dalam lembaran.
Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekertaris wahyu. Setiap turun ayat
Al-Quran beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat
catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, sehingga
penulisan tersebut dapat melahirkan hafalaan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah
sahabat pilihan yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan
indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara
mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin, dan sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhari dan muslim
meriwayatkan dari Anas r.a bahwasanya ia
berkata: “ Al-Quran dikumpulkan pada masa Rasil SAW oleh empat orang yang
kesemuanya dari kaum Anshar, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit
dan Abu Zaid. Anas ditanya : “Siapa ayah Zaid?” Ia menjawab: “Salah seorang
pamanku.
Mereka menuliskan Al-Qur’an pada
pelepah kurma, pohon, daun kulit tulang. Demikian karena alat tulis sulit di
dapati di negeri Arab. Memang
orang-orang persia dan Romawi punya tetapi jumlahnya sedikit, tidak bisa
tersebar luas sehingga orang-orang Arab menulis dengan apa saja yang dapat
mereka pergunakan untuk menulis.
2. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa Abu Bakar
terjadi perang Yamamah, banyak para quraa’ danhuffazh yang
gugur, atas saran Umar Ibn Khaththab, kemudian Abu Bakar membentuk panitia
kodifikasi Al-Qur’an dengan menunjuk Zaid Ibn Tsabit sebagai ketuanya. Sebelum
panitia kodifikasi mulai bekerja, Abu Bakar berpesan kepada Zaid, yaitu:
catatan yang ada harus sesuai dengan hafalan para sahabat, dan catatan itu
dapat dipastikan atas perintah Rasulullah.
Abu Bakar kemudian
menyerukan kepada kaum muslimin agar siapapun yang memegang catatan ayat Al-Qur’an
segera menyrahkannya kepada Zaid untuk diseleksi. Panitia kodifikasi pimpinan
Zaid berhasil menghimpun catatan Al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai media
itu, dalam waktu satu tahun dan disebut dengan Al-Mushaf
Al-Syarif . Abu bakar kemudian menyimpan mushaf itu, dan sebelum
meninggal ia serahkan kepada Umar, setelah Umar meninggal, putrinya, Hafshah
yang menyimpan mushaf itu.
b.) Masa Utsman Ibn Affan
Pada masa Utsman ibn
Affan terjadi banyak perselisihan tentang pelafalan Al-Qur’an, sehingga Utsman
berinisiatif menggandakan mushaf hasil kodifikasi panitia pimpinan Zaid, untuk
kemudian disebarkan ke semua wilayah Islam. Selain itu Utsman juga membakar
semua naskah yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi Zaid. Usaha Utsman
tersebut berhasil meredam perselisihan tentang pelafalan Al-Qur’an.
c.) Masa Ali Ibn Abu Thalib dan Masa-Masa Selanjutnya
Pada masa Khalifah Ali,
Ali berinisiatif membubuhkan tanda baca (nuqath I’rab) pada ayat-ayat
Al-Qur’an untuk memudahkan pembacaan, Ali memercayakan urusan itu kepada
seorang ahli tata bahasa bernama Abu al-Aswad al-Du’ali. Sedangkan orang yang
pertama kali membuat
tanda titik untuk membedakan huruf-huruf dengan bentuk sama (nuqathu harf, semisal
pada huruf “ba’, ta’ dan tsa’ “) adalah Nashr ibn Ashim (w. 89H) atas usulan
Hajaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, salah seorang gubernur dinasti Daulah Umayyah
(40-95 H). Sedangkan tanda syakal diperkenalkan oleh Al-Khalil ibn ahmad
al-Farahidi (w. 170 H).
Pada masa Al-Makmun
upaya mempermudah pembacaan Al-Qur’an terus dikembangkan, pada masa
itulah tanda baca tajwid diciptakan. Tak hanya itu simbol-simbol yang memperjelas
ayat-ayat juga diciptakan. Seperti tanda waqaf dan nomor ayat, serta identitas
di awal setiap surah. Sampai abad ke-16 M, penulisan Al-Qur’an masih
menggunakan tangan sampai kemudian terciptalah mesin cetak. Dan, pada tahun
1694 M, di Hamburg, untuk pertama kalinya Al-Qur’an ditulis dengan mesin cetak[6]. Dan
seterusnya, penulisan al-Qur’an terus mengalami perkembangan, pada saat ini
banyak kita jumpai al-Qur’an dengan berbagai bentuk dan model. Ada yang berupa
digital hingga yang dilengkapi dengan mesin pencari surat dan ayat.
3.Rasm
Utsmany
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, umat Islam telah
tersebar ke berbagai Penjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan hanya
orang-orang Arab saja. pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan Al-Qur’an
yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda. Sangat disayangkan
masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang digunakannya adalah terbaik. [7]Kemudian
seorang sahabat bernama Hudzaifah mengajukan usul kepada Khalifah Utsman bin
Affan untuk menulis mushaf yang dapat diterima oleh semua pihak(seluruh umat
Islam).
Maka dibentuklah tim khusus untuk menulis mushaf Al-Qur’an sebagai yang
diharapkan. Tim khusus tersebut diketuai oleh Zaid bin Tsabit dengan para anggota;
Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Haris bin Hisyam dan Said bin Asy’ats.
Mereka menulis Al-Qur’an dengan berpedoman pada mushaf yang terdapat pada
Khafsoh serta hafalan para sahabat. Penulisan Al-Qur’an ini sering
disebut mushaf Utsmani atau Rasmul Utsmani[8].
Penulisan ini diperbanyak menjadi 4 (empat) yang kemudian dikirim ke Kufah,
Basrah, Syam dan ditangan khalifah sendiri. Untuk naskah-naskah yang lainnya
ditiadakan (dengan dibakar) karna dihawatirkan akan timbul perbedaan[9].
Didalam bahasa Arab digunakan tiga macam metode penulisan, yakni penulisan
mushaf Utsmani, penulisan Arud (ilmu untuk menimbang syair) dan penulisan biasa
yaitu tata cara menulis yang biasa digunakan dalam tulis-menulis harian.
Para ulama menjelaskan beberapa kaidah yang berlaku dalam penulisan mushaf
Utsmani yang diringkas menjadi beberapa kaidah, yaitu :
1. Al–Hadzf(membuang,menghilangkan,atau
meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’
nida’(يَََآَ يها النا س ).
2. Al – Jiyadah (penambahan), seperti
menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang
mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah
marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3. Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis
dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
4.Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai
penghormatan pada kata (الصلوة).
5.Washal dan fashl(penyambungan
dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan
kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang
dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu
bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan
menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم
الدين ). Ayat ini boleh
dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga
dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).
4. Pola Penulisan
Al-Qur`an Dalam Mushaf Utsmani
Bangsa Arab sebelu
Islam dalam tulis menulis menggunakan khot Hijri. Setelah datang Islam
dinamakan Khot Kufi. Sejauh itu Bahasa dapat terpelihara dari
kerusakan-kerusakan, karena ada kemampuan berbahasa yang tertanam dalam jiwa
mereka.
Pada masa khalifah utsman bin Affan, umat Islam
telah tersebar ke berbagai kepenjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan
hanya orang-orang Arab saja. Pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan
Al-Qur’an yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda. Sangat di
sayangkan masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang di gunakannya adalah
yang terbaik.
Untuk
mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta untuk memudahkan membaca Al-Qur`an
bagi orang-orang awam, maka Utsman bin Affan membentuk panitia yang terdiri
dari 12 orang untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah Al-Qur`an.
Mereka itu adalah: 1. Sa`id bin Al-As bin Sa`id bin Al-As, 2. Nafi bin Zubair
bin Amr bin Naufal, 3. Zaid bin Tsabit, 4.Ubay bin ka`b, 5.Abdullah bin
az-Zubair, 6.Abrur-Rahman bin Hisham, 7.Khatir bin Aflah, 8. Anas bin Malik, 9.Abdullah
bin Abbas, 10. Malik bin Abi Amir, 11. Abdullah bin Umar, 12. Abdullah bin Amr
bin al-As. Mereka inilah yang
menyusun mushaf Al-Qur`an yang kemudian di kenal dengan mushaf Utsmani, ada
juga yang mengatakan bahwa panitia yang di bentuk oleh Utsman ada empat orang
mereka itu adalah Zaid bin Tsabit, abdulalh bin Zubair, Sa’id bin Al-As dan
Abdurrahman bin Al-Harits, karena di tetapkan pada masa khalifah Utsman bin
Affan.
Mushaf itu ditulis
dengan kaidah-kaidah tertentu. Para Ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi 6
istilah, yaitu:
a. Al-Hadzf
(membuang, menghilangkan, ataumeniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf
alif pada ya`nida` ,dari tanbih , pada lafadzh ,dan dari kata na
b.
Al-Jiyadah(penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang
mempunyai hokum jma` ( ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang
terletak di atas tulisan wawu) ( ).
c. Al-hamzah, salah satu kaidahnya berbunyi
bahwa apabila hamzah berharakat sukun, di tulis dengan huruf berharakat yang
sebelumnya, contoh “i`dzan( ) dan “u`tumin”( ).
d. Badal (penggantian), seperti
alif di tulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata.
e. Washal dan
Fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang di iringi kata ma di
tulis dengan di sambung ( ).
f. Kata yang dapat
dibaca dua bunyi. Penulis kata yang dapat di baca dua bunyi disesuaikan dengan
salah satu bunyinya. Di dalam mushaf `Utsmani, penuli kata semacam itu di tulis
dengan menghilangkan alif, misalnya “maliki yaumiddin”( ). Ayat di atas boleh
di baca dengan menetapkan alif(yakni di baca dua alif),boleh juga hanya menurut
bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).
Sebagian besar
Ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan
kesepakatan cara penulisan (ishtilahi) yang di setujui Utsman dan diterima
ummat, sehingga wajib di ikuti dan ditaati siapapun ketika menulis Al-Qur`an.
Banyak Ulama terkemuka menyatakan perlunya konsistensi menggunakan Rasm
Utsmani. Asyhab berkata ketika ditanya tentang penulisan Al-qur`an, apkah perlu
menulisnya seperti yang di pakai banyak orang sekarang, Malik menjawab, “Aku
tidak berpendapat demikian. Seseorang hendaklah menulisnya sesuai dengan
tulisan pertama.” Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Haram hukumnya
menyalahi khot Utsmani dalam soal wawu, alif, ya` atau huruf lainnya.”
Sebagian dari
mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan
untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara untuk
menuliskan Al-qur’an yang berlainan dengan Rasm Utsmani.
Berkaitan dengan
ketiga pendapat diatas, Al-Qattan memilih pendapat yang kedua karena lebih
memungkinkan untuk memelihara Al-qur’an dari perubahan dan penggantian
hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan menulis Al-qur’an sesuai dengan
trend tulisan pada masanya, perubahan tulisan Al-qur’an terbuka lebar pada
setiap masa. Padahal, setiap kurun waktu memiliki trend tulisan yang
berbeda-beda. Al-qattan menegaskan bahwa perbedaan Khot pada mushaf-mushaf yang
ada merupakan hal lain. Yang pertama berkaitan dengan huruf , sedangkan yang
kedua berkaitan dengan cara penulisan huruf. Untuk memperkuat pendapatnya,
Al-qattan mengutip ucapan Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’b Al-Iman,”Siapa saja
yang hendak menulis mushaf hendaknya memperhatikan cara mereka yang pertama
kali menulisnya. Janganlah berbeda dengannya. Tidak boleh mengubah sediitpun
apa-apa yang telah mereka tulis karena mereka lebih banyak pengetahuannya,
ucapan dan kebenarannya lebih dipercaya, serta dapat memegang amanah dari pada
kita. Jangan ada diantara kita yang merasa dapat menyamai mereka.
5. Pendapat Para Ulama Tentang
Rasmul Qur’an (Rasmul Utsmani)
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status
rasmul Al-Qur’an ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an
bersifat tauqifi.yang mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang
menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang
seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan
huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis
lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz
“Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan
selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak
seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi
atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk
dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka
(para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk
tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak
dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi
kitab-kitab suci lainnya”.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul
qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui
oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang
menulis alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang
menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al
Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan
wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi).
Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah
penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik
berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun,
pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm
tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola
penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca.
Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola
tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak
mempengaruhi makna Al Qur’an.
[1] Subhi as
Shalih, Membahasa Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) Hal. 81
[2] Taufik Adnal Amal, Rekontruksi Sejarah
Al-Qur’an. (Jakarta: Pustaka Alvabet,2005). Hal 150
[3] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad
Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (jakarta; Pustaka Amani, 2001),
hal. 73
[4] Subhi
As-Salih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, hal. 85
[5] Syekh
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis,
(jakarta; Pustaka Amani, 2001), hal. 77
[7] Jalaludin As-Suyuthi, Itqan fi
Ulumil Qur’an , Juz 5, Darul
Ma’arif, Bairut, 1978
[9] Dr. Shubhi Al-Shalih, Mabahis Fi Ulumil Quran, Darul
Ilmi, Bairut, 1977, hal. 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar