Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Kamis, 26 September 2013

Sejarah Pengumpulan Al-Qur'an


A.            Pengumpulan Al-Quran
Berbagai macam istilah yang digunakan dalam pengumpulan Al-Quran. Mengutip Subhi As-Shalih bahwa penghimpunan Al Quran memiliki dua pengertian. Keduanya disebutkan dalam nash. Dalam Al Qiyamah Allah bberfirman: “ Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penghimpunannya (di dalam dadanya) dan (membuatmu pandai) membacanya. Kata menghimpunnya (jam’ahu) bermakna penghafalannya. Orang-orang yang hafal Al-Quran disebut Jumma’aul Qur’an atau Huffadzul Qur’an. Makna yang lain dari kata penghimpunan (jam’ahu) ialah penulisan yakni penulisan seluruh Al-Quran yang memisahkan masing-masing ayat dan surat atau hanya mengatur semua ayat Al-Quran saja dan susunan tiap surat di dalam suatu shahifah tersendiri atau mengatur susunan semua ayat dan Sutar di dalam beberapa shahifah yang kemudian disatukan sehingga mejadi suatu koleksi yang merangkum semua surat yang sebelumnya telah disusun satu demi satu. [1]Sedangkan menurut Taufiki Adnal Amal ialah unit-unit wahyu yang diterima Muhammad pada faktanya dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara utama: menyimpannya ke dalam dada manusia atau menghafalkannya dan merekammnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis.
Jadi ketika para sarjana muslim berbicara tentang jam’ul Al-Quran pada masa nabi maka yang jdi ketika para sarjan muslim berbicara tentang jam’ul Al-Quran pada masa Nabi maka yang dimaksudkan dengan ungkapan ini pada dasarnya ialah pengumpulan wahyu yang diterima Nabi melalui kedua cara tersebut baik sebagian maupun seluruhnya. [2]Mengutip Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni yang diterjemahkan Muhammad Qodirun Nur dalam ikhtisar Ulumul Quran praktis mengataka bahwa kata pengumpulan diartikan menghafal dan mengeluarkan dari dada para sahabat. Diartikan pula penulisan atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun dari uraian di atas intinya sama yaitu memiliki dua arti berupa penghafalan dan penulisan.
Kemudian Al-Quran sendiri dikumpulkan pada dua masa yaitu masa Rasulullah dan masa Khulafaur Rasyidin. Masing-masing tahap pengumpulan memiliki keistimewaan sendiri. Lebih rincinya ada pada pembahasan di bawah ini.
1.      Masa Rasulullah SAW
a.     Pengumpulan Al-Quran dalam dada
Al-Quran diturunkan kepada Nabi yang ummiy. Maka Nabi hanya tercurahkan untuk menghafal dan melahirkannya agar ia dapat dihafal sebagaimana diturunkan kepadanya. Lantas beliau membacakannya kepada manusia agar mereka dapat hafal dan melahirkannya (membacakannya).
Usaha keras Nabi untuk menghafal Al-Quran terbukti setiap malam beliau membaca Al-Quran  dalm shalat sebagai ibadah membaca dan merenungkan maknanya. Maka tidak heran jika Rasul menjadi sayyid para huffazh. Hatinya yang mulia itu penuh dengan Al-Quran. Beliau menjadi tempat bertanya bagi setiap muslimin yang kesulitan tentag Al-Quran. Demikian pula para sahabat. Mereka selalu berlomba-lomba membaca dan menghafalkannya. Mereka mengajarkan kepada istri dan anak-anak di rumah mereka. Rasul telah mengobarkan api semangat mereka menghafalkan Al-Quran. Beliau mengutus orang-orang tertentu untuk mengajar dan membacakan Al-Quran kepada penduduk ke pelosok-pelosok. Dengan demikian pada masa ini tidak terhitung jumlah huffazh. [3]Sedangkan para sahabat yang terkenal pandai mengajarkan bacaan Al-Quran ialah: Utsman bin Affan, Ali bin Abi halib, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abu Durba dan Abu Musa Al-Asy’ari.[4]
Sungguh merupakan keistimewaan luar biasa bagi umat  Muhammad di mana kitab suci ini dapat dihafal di dalam dada  mereka karena Allah telah menjaganya dengan pertolongan-Nya. Dia memudahkannya untuk dihafal. Dia menjaganya dari kemungkinan perubahan dan pergantian dengan cara menjaganya dalam dada.[5] Firmannya:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ 
”Sesungguhnya Kami-Lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” ( Al-Hijr:9)
b. Pengumpulan Al-Quran Pada Tulisan
          Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur’anul Karim ialah pengumpulan dan penulisannnya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekertaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Quran beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap  kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tersebut dapat melahirkan hafalaan dan memperkuat ingatan.
          Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin, dan sahabat-sahabat lain.
          Imam Bukhari dan muslim meriwayatkan  dari Anas r.a bahwasanya ia berkata: “ Al-Quran dikumpulkan pada masa Rasil SAW oleh empat orang yang kesemuanya dari kaum Anshar, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Anas ditanya : “Siapa ayah Zaid?” Ia menjawab: “Salah seorang pamanku.
          Mereka menuliskan Al-Qur’an pada pelepah kurma, pohon, daun kulit tulang. Demikian karena alat tulis sulit di dapati di negeri Arab.  Memang orang-orang persia dan Romawi punya tetapi jumlahnya sedikit, tidak bisa tersebar luas sehingga orang-orang Arab menulis dengan apa saja yang dapat mereka pergunakan untuk menulis.
2. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Khulafaur Rasyidin
a.) Masa Abu Bakar R.A
         Pada masa Abu Bakar terjadi perang Yamamah, banyak para quraa’ danhuffazh yang gugur, atas saran Umar Ibn Khaththab, kemudian Abu Bakar membentuk panitia kodifikasi Al-Qur’an dengan menunjuk Zaid Ibn Tsabit sebagai ketuanya. Sebelum panitia kodifikasi mulai bekerja, Abu Bakar berpesan kepada Zaid, yaitu: catatan yang ada harus sesuai dengan hafalan para sahabat, dan catatan itu dapat dipastikan atas perintah Rasulullah.
         Abu Bakar kemudian menyerukan kepada kaum muslimin agar siapapun yang memegang catatan ayat Al-Qur’an segera menyrahkannya kepada Zaid untuk diseleksi. Panitia kodifikasi pimpinan Zaid berhasil menghimpun catatan Al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai media itu, dalam waktu satu tahun dan disebut dengan Al-Mushaf Al-Syarif . Abu bakar kemudian menyimpan mushaf itu, dan sebelum meninggal ia serahkan kepada Umar, setelah Umar meninggal, putrinya, Hafshah yang menyimpan mushaf itu.

b.) Masa Utsman Ibn Affan
          Pada masa Utsman ibn Affan terjadi banyak perselisihan tentang pelafalan Al-Qur’an, sehingga Utsman berinisiatif menggandakan mushaf hasil kodifikasi panitia pimpinan Zaid, untuk kemudian disebarkan ke semua wilayah Islam. Selain itu Utsman juga membakar semua naskah yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi Zaid. Usaha Utsman tersebut berhasil meredam perselisihan tentang pelafalan Al-Qur’an.

c.) Masa Ali Ibn Abu Thalib dan Masa-Masa Selanjutnya
         Pada masa Khalifah Ali, Ali berinisiatif membubuhkan tanda baca (nuqath I’rab) pada ayat-ayat Al-Qur’an untuk memudahkan pembacaan, Ali memercayakan urusan itu kepada seorang ahli tata bahasa bernama Abu al-Aswad al-Du’ali. Sedangkan orang yang pertama kali membuat tanda titik untuk membedakan huruf-huruf dengan bentuk sama (nuqathu harf, semisal pada huruf “ba’, ta’ dan tsa’ “) adalah Nashr ibn Ashim (w. 89H) atas usulan Hajaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, salah seorang gubernur dinasti Daulah Umayyah (40-95 H). Sedangkan tanda syakal diperkenalkan oleh Al-Khalil ibn ahmad al-Farahidi (w. 170 H).
         Pada masa Al-Makmun  upaya mempermudah pembacaan Al-Qur’an terus dikembangkan, pada masa itulah tanda baca tajwid diciptakan. Tak hanya itu simbol-simbol yang memperjelas ayat-ayat juga diciptakan. Seperti tanda waqaf dan nomor ayat, serta identitas di awal setiap surah. Sampai abad ke-16 M, penulisan Al-Qur’an masih menggunakan tangan sampai kemudian terciptalah mesin cetak. Dan, pada tahun 1694 M, di Hamburg, untuk pertama kalinya Al-Qur’an ditulis dengan mesin cetak[6]. Dan seterusnya, penulisan al-Qur’an terus mengalami perkembangan, pada saat ini banyak kita jumpai al-Qur’an dengan berbagai bentuk dan model. Ada yang berupa digital hingga yang dilengkapi dengan mesin pencari surat dan ayat.

3.Rasm Utsmany
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, umat Islam telah tersebar ke berbagai Penjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab saja. pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan Al-Qur’an yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda. Sangat disayangkan masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang digunakannya adalah terbaik. [7]Kemudian seorang sahabat bernama Hudzaifah mengajukan usul kepada Khalifah Utsman bin Affan untuk menulis mushaf yang dapat diterima oleh semua pihak(seluruh umat Islam).
                  Maka dibentuklah tim khusus untuk menulis mushaf Al-Qur’an sebagai yang diharapkan. Tim khusus tersebut diketuai oleh Zaid bin Tsabit dengan para anggota; Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Haris bin Hisyam dan Said bin Asy’ats. Mereka menulis Al-Qur’an dengan berpedoman pada mushaf yang terdapat pada Khafsoh serta hafalan para sahabat. Penulisan Al-Qur’an ini sering disebut mushaf Utsmani atau Rasmul Utsmani[8].
                  Penulisan ini diperbanyak menjadi 4 (empat) yang kemudian dikirim ke Kufah, Basrah, Syam dan ditangan khalifah sendiri. Untuk naskah-naskah yang lainnya ditiadakan (dengan dibakar) karna dihawatirkan akan timbul perbedaan[9].
                  Didalam bahasa Arab digunakan tiga macam metode penulisan, yakni penulisan mushaf Utsmani, penulisan Arud (ilmu untuk menimbang syair) dan penulisan biasa yaitu tata cara menulis yang biasa digunakan dalam tulis-menulis harian.
                  Para ulama menjelaskan beberapa kaidah yang berlaku dalam penulisan mushaf Utsmani yang diringkas menjadi beberapa kaidah, yaitu :
1. Al–Hadzf(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’(يَََآَ يها النا س ).
2. Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3. Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
4.Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
5.Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).


4. Pola Penulisan Al-Qur`an Dalam Mushaf Utsmani
Bangsa Arab sebelu Islam dalam tulis menulis menggunakan khot Hijri. Setelah datang Islam dinamakan Khot Kufi. Sejauh itu Bahasa dapat terpelihara dari kerusakan-kerusakan, karena ada kemampuan berbahasa yang tertanam dalam jiwa mereka. Pada masa khalifah utsman bin Affan, umat Islam telah tersebar ke berbagai kepenjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab saja. Pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan Al-Qur’an yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda. Sangat di sayangkan masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang di gunakannya adalah yang terbaik.
Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta untuk memudahkan membaca Al-Qur`an bagi orang-orang awam, maka Utsman bin Affan membentuk panitia yang terdiri dari 12 orang untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah Al-Qur`an. Mereka itu adalah: 1. Sa`id bin Al-As bin Sa`id bin Al-As, 2. Nafi bin Zubair bin Amr bin Naufal, 3. Zaid bin Tsabit, 4.Ubay bin ka`b, 5.Abdullah bin az-Zubair, 6.Abrur-Rahman bin Hisham, 7.Khatir bin Aflah, 8. Anas bin Malik, 9.Abdullah bin Abbas, 10. Malik bin Abi Amir, 11. Abdullah bin Umar, 12. Abdullah bin Amr bin al-As. Mereka inilah yang menyusun mushaf Al-Qur`an yang kemudian di kenal dengan mushaf Utsmani, ada juga yang mengatakan bahwa panitia yang di bentuk oleh Utsman ada empat orang mereka itu adalah Zaid bin Tsabit, abdulalh bin Zubair, Sa’id bin Al-As dan Abdurrahman bin Al-Harits, karena di tetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan.
Mushaf itu ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para Ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi 6 istilah, yaitu:
a. Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, ataumeniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya`nida` ,dari tanbih , pada lafadzh ,dan dari kata na
b. Al-Jiyadah(penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jma` ( ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu) ( ).
c.  Al-hamzah, salah satu kaidahnya berbunyi bahwa apabila hamzah berharakat sukun, di tulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh “i`dzan( ) dan “u`tumin”( ).
d. Badal (penggantian), seperti alif di tulis dengan wawu sebagai penghormatan pada     kata.
e. Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang di iringi kata ma di tulis dengan di sambung ( ).
f. Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulis kata yang dapat di baca dua bunyi disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf `Utsmani, penuli kata semacam itu di tulis dengan menghilangkan alif, misalnya “maliki yaumiddin”( ). Ayat di atas boleh di baca dengan menetapkan alif(yakni di baca dua alif),boleh juga hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).
Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishtilahi) yang di setujui Utsman dan diterima ummat, sehingga wajib di ikuti dan ditaati siapapun ketika menulis Al-Qur`an. Banyak Ulama terkemuka menyatakan perlunya konsistensi menggunakan Rasm Utsmani. Asyhab berkata ketika ditanya tentang penulisan Al-qur`an, apkah perlu menulisnya seperti yang di pakai banyak orang sekarang, Malik menjawab, “Aku tidak berpendapat demikian. Seseorang hendaklah menulisnya sesuai dengan tulisan pertama.” Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Haram hukumnya menyalahi khot Utsmani dalam soal wawu, alif, ya` atau huruf lainnya.”
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara untuk menuliskan Al-qur’an yang berlainan dengan Rasm Utsmani.
Berkaitan dengan ketiga pendapat diatas, Al-Qattan memilih pendapat yang kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara Al-qur’an dari perubahan dan penggantian hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan menulis Al-qur’an sesuai dengan trend tulisan pada masanya, perubahan tulisan Al-qur’an terbuka lebar pada setiap masa. Padahal, setiap kurun waktu memiliki trend tulisan yang berbeda-beda. Al-qattan menegaskan bahwa perbedaan Khot pada mushaf-mushaf yang ada merupakan hal lain. Yang pertama berkaitan dengan huruf , sedangkan yang kedua berkaitan dengan cara penulisan huruf. Untuk memperkuat pendapatnya, Al-qattan mengutip ucapan Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’b Al-Iman,”Siapa saja yang hendak menulis mushaf hendaknya memperhatikan cara mereka yang pertama kali menulisnya. Janganlah berbeda dengannya. Tidak boleh mengubah sediitpun apa-apa yang telah mereka tulis karena mereka lebih banyak pengetahuannya, ucapan dan kebenarannya lebih dipercaya, serta dapat memegang amanah dari pada kita. Jangan ada diantara kita yang merasa dapat menyamai mereka.




5. Pendapat Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an (Rasmul Utsmani)
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi.yang mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang menulis alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.




[1] Subhi as Shalih, Membahasa Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) Hal. 81
[2] Taufik Adnal Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an. (Jakarta: Pustaka Alvabet,2005). Hal 150
[3] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (jakarta; Pustaka Amani, 2001), hal. 73
[4] Subhi As-Salih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, hal. 85
[5] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (jakarta; Pustaka Amani, 2001), hal. 77
[6] Fathi Fawzi Abd al-Mu’thi, Detik-detik Penulisan Wahyu, hal 21-22
[7] Jalaludin As-Suyuthi, Itqan fi Ulumil Qur’an , Juz 5, Darul Ma’arif, Bairut, 1978
[8] Ulumul Qur’an II, Drs. H. Ahmad Syadali, M. A. – Drs. H. Ahmad Rofi’I hal. 22
[9] Dr. Shubhi Al-Shalih, Mabahis Fi Ulumil Quran, Darul Ilmi, Bairut, 1977, hal. 83

Tidak ada komentar: