Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Kamis, 26 September 2013

BPR Syari'ah

A.   Pengertian BPRS

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Perbankan No.7 Tahun 1992, adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan uang hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, Bank Perkreditan Rakyat Syariah dapat diartikan sebagai sebuah lembaga keuangan sebagaimana Bank Perkreditan Rakyat yang konvensional, yang operasionalnya memakai prinsip-prinsip syariah.

B.   Sejarah Berdirinya BPR Islam (Syariah)
Di Indonesia sendiri Bank Perkreditan Rakyat Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah BPR lainnya. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang setatus hukumnya disahkan dalam paket kebijaksanaan keuangan moneter dan perbankan yaitu pada tanggal 27 Oktober 1988, pada hakikatnya merupakan penjelmaan model baru dari lumbung desa dan bank desa yang beraneka ragam namanya yang ada di jawa khususnya sejak akhir 1890-an dan sejak dikeluarkannya UU pokok perbankan, status hukumnya di perjelas denagan izin tersebut, diikuti dengan upaya-upaya pembenahan terhadap badan-badan kredit desa yang berproses menjadi lembaga keuangan bank.

Lumbung desa sebagai sistem perkreditan rakyat zaman dahulu, dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat tani dipedasaan, karena pada waktu itu peredaran uang belum menjangkau masyarakat tani di pedesaan sehingga pinjaman dalam bentuk natura lebih menguntungkan dan lebih praktis dari pada pinjaman dalam bentuk uang.
Di dalam perkembangannya, kini para rentenir di dalam membantu petani tidak hanya berupa pinjaman uang yang berbunga tinggi, tetapi juga memberikan pinjaman dalam bentuk natura, beras, pangan dan lain sebagainya. Yang kesemua pembayarannya dilakukan dalam bentuk uang sehingga praktis masih menerapkan sistem bunga yang bersifat mencekik.

Keinginan masyarakat terhadap BPR tanpa bunga tersebut mendapatkan angin segar dengan adanya deregulasi di sektor perbankan sejak 1 juni 1988 yang memberikan kebebasan kepada bank-bank termasuk BPR untuk menetapkan sendiri tingkat bunganya.

Peluang beroperasinya BPR tanpa bunga tersebut semakin terbuka setelah tanggal 27 oktober 1988 yang memberikan peluang berdirinya bank-bank baru termasuk bank tanpa bunga.

Kepastian peluang beroperasinya BPR tanpa bunga yang sesuai keinginan umat manusia tersebut tanpak jelas dengan penjelasan lisan pemerintahan dalam rapat kerja dengan komisi VII DPR RI tanggal 5 juni 1990, bahwa tidak ada halangan untuk mendirikan atau mengoperasionalkan bank sesuai dengan prinsip syari’ah islam sepanjang pengoperasian bank tersebut memenuhi kriteria kesehatan bank sesuai dengan ketentuan bank Indonesia.

Dengan berbagai upaya akhirnya program tersebut terealisir dengan menetapkan tiga lokasi yang mempunyai potensi berdirinya BPR Islam, sebagai langkah awal yang lebih kongkret. BPR Islam rintisan tersebut, adalah:
                                i.      PT. BPR Dana Mardhatilah di Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung
                              ii.      PT. BPR Berkah Amal Sejahtera di Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung
                            iii.      PT. BPR Amanah Rabbaniah di Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung
Ketiga BPR tersebut akhirnya pada 8 Oktober 1990 telah mendapatkan izin prinsip Menteri Keuangan RI.
Dengan diperolehnya izin itu di lakukanlah persiapan-persiapan yang lebih intensif, terutama yang menyangkut sumber daya manusia sebagai pengelola bank yang lebih amanah dan profesional.[1]
C.   Landasan Hukum
Pada dasarnya, pendirian BPR Syariah mempunyai tujuan yang utama. Yang pertama yaitu menghindari riba; dan yang kedua yaitu mengamalkan prinsip-prinsip syariah dalamperbankan khususnya Bank Perkreditan Rakyat untuk tujuan kemaslahatan.
Di dalam Al-Qur’an, beberapa ayat yang menyinggung tentang pelarangan riba, diantaranya QS Ar-Rum [30]:39, QS. Al-Baqarah [2]:275, QS. Al-Baqarah [4]:130, QS. An-Nisa[4]: 146, QS. Al-Baqarah [2]:276, dan QS. Al-Baqarah [2]:278.
Berikut salah satu contoh ayat larangan riba. (QS.Al-Baqarah 275) :
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  

275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Selanjutnya, banyak hadits yang terkait dengan pelarangan riba. Salah satunya yaitu:
“Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba,penulis dan saksi riba”. (HR.Muslim)
Untuk pengamalan prinsip-prinsip syariah, hal ini merupakan kewajiban bagi kita untuk menuangkannya ke semua aspek kehidupan, termasuk di dalam perbankan. Ketentuan ini mengacu pada kaidah fiqih, yang artinya apabila hukum syara‟ dilaksanakan, maka pastilah akan tercipta kemaslahatan.[2]

D.   Dasar Pemikiran Beroperasinya BPR Syariah

Berdirinya BPR Islam di Indonesia selain didasari oleh tuntutan bermuamalah secara Islam yang merupakan keinginan kuat dari sebagian besar umat Islam di Indonesia, juga sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket kebijaksanaan keuangan, moneter, perbankan secara umum. Secara khusus adalah mengisi peluang terhadap kebijaksanaan yang membebaskan bank dalam penetapan tingkat suku bunga (rate interest), yang kemudian dikenal dengan bank tanpa bunga.[3]

E.    Persyaratan dan Tata Cara Pengurusan BPRS
Persyaratan dan tata cara pengurusa BPRS telah di tuangkan dalam bank Indonesia nomor 8/25/PBI/2006 tentang perubahan bank indonesia nomor 6/17/2004 tentang BPR yang berprinsip pada syariah. Sebagai pertimbangan di keluarkannya peraturan bank indonesi nomor 8/25/PBI/2006 adalah dibutuhkannya pengolaan yang profesional.

Pengurus BPRS terdiri dari Direksi dan Dewan komisaris. Sedangkan kewajiban BPRS untuk membentuk dan memiliki dewan pengawas syariah yang berkedudukan di kantor pusat telah di atur oleh bank Indonesia tersebut.[4]

Persyaratan bagi keanggotaan Direksi dan Dewan komisaris sebagai pengurus BPRS adalah wajib untuk memenuhi integrasi, kompetisi dan reputasi keuangan, sehubungan dengan persyaratan integrasi yang  wajib dimiliki anggota Direksi dan Dewan komisaris sebagai pengurus bank adalah pihak-pihak yang memenuhi kualifikasi antara lain: memiliki akhlaq dan moral yang baik, memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang undangan yang berlaku dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap operasional bank yang sehat.[5]

Persyaratan kompetensi yang wajib oleh anggota direksi sebagai pengurus bank syariah adalah pihak-pihak yang memilik pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relavan dengan jabatannya. Pengtahuab pebankan tersebut yang meliputi peraturan dan operasional BPRS. Calon direksi tersebut memiliki pengalaman dan keahlian di bidang perbankan atau bidang keuangan yang meliputi: bidang operasiona, pemasaran ,pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang atau hukum yang berkaitan dengan perbankan dan memiliki kemampuan untuk pengolahan strategis dalam rangka pengembangan BPRS yang sehat, kemampuan untuk melakukan pengolahan strategis adalah kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian regioanal, keuangan dan perbankan, mengiterprestasikan visi menjadi misi BPRS dan analisa situasi industri perbankan.

BPRS wajib mengajukan calon direksi dan anggota dewan komisaris untuk memperoleh persetujuan dari bank indonesia sebelum di angkat oleh rapat anggota. Persetujuan atau penolakan calon anggota dewan komisaris dan calon direksi dilakukan melalui penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai kemampuan yang berlaku.[6]

1.      Dewan komisaris BPRS
Pengaturan pengaturan dewan komisaris sekurang-kurangnya 2 orang dan sebanyak-banyaknya 3 orang dan sekurang-kurangnya 1 orang.
Anggota komisaris wajib memiliki pengetahuan atau pengalaman di bidang perbankan atau di bidang keuangan lainnya di bidang konvensional ataupun syariah.
Anggota dewan komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota dewan komisaris, sebanyak-banyak pada 3 bank lain atau dewan komisaris.

2.      Direksi BPRS
Jumlah keanggotaan BPRS dalam kegiatan opersional bank adalah paling sedikit 2 orang. Kewajiban anggota direksi lain yang belum berpengalam dalam pengolaan perbankan syariah adalah mengikuti pelatiha perbankan syariah.
BPRS di tuntut untuk di kelola secara operasional. Dengan pengolahan tersebut maka telah di laksaakan penambahan ketentuan lembaga setifikasi bagi pengurus BPRS, yang mengatur anggota direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan dari lembaga sertifikasi.[7]

F.    Pendirian BPRS

Modal awal untuk mendirikan BPRS menurut PBI No. 6/17/PBI/2004 ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar:
1.      2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang di dirikan di wilayah DKI Jakarta, Tanggerang, Bogor, Depok, Bekasi.
2.      1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang di dirikan di wilayah ibu kota provinsi di luar jawa.
3.      500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang di dirikan di luar wilayah pada point a dan b.[8]

G.   Prinsip-Prinsip Dalam BPRS

1.      Prinsip simpanan
Prinsip ini di kenaal dengan nama wadiah yang artinya adalah perjanjian antara pemilik barang, dimana pihak penyimpan bersedia menjaga keselamatan barang yang di titipkan kepadanya.

2.      Prinsip bagi hasil
Prinsip bagi hasil ada 2 yaitu: musyarakah yaitu perjanjian antara kedua belah pihak atau lebih dalam perjanjiannya pemilik modal membiayai suatu usaha, sedangkan keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan dan begitupun soal kerugiannya.
Mudharabah yaitu perjanjian antara pemilik modal dengan pengusaha dimana modal sepenuhnya berasal dari pemodal, dan pemilik modal tidak ikut campur dalam urusan usahanya, apabila usaha mengalami kerugian maka kerugian tersebut di tanggung oleh pemilik modal.

3.      Prinsip pengembalian keuntungan
Prinsip ini lebih di kenal dengan jual beli yaitu proses pemindahan hak milik dengan menggunakan uang sebagai media.
(syafe’i antonio. 1993. 21-29) macam macam jual beli adalah:
a). Al musawamah
Yaitu jual beli biasa di mana penjual memasang harga tanpa memberitahu si pembeli dan berapa keuntungan yang di ambilnya.
b). At tauliyah
Yaitu menjual dengan harga beli tanpa mengambil keuntungan sedikitpun seolah olah si penjual menjadikan pembeli sebagai walinya.
c). Murabahah
Yaitu menjual barang dengan harga asal ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati.
d). Muadhaah
Yaitu menjual dengan harga yang lebih rendah dari harga yang dibeli atau dengan kata lain kebalikan dari murabahah.
e). Al muqayadhah
Yaitu bentuk awal dari jual beli, dimana transaksi barang ditukar dengan barang (barter).
f). Al mutlaq
Yaitu penjual biasa dimana barang ditukar dengan uang.
g). Ash sharf
Yaitu jual beli valuta asing dimana barang ditukar dengan uang.
h). Ba’i bithamal ajil
Yaitu menjual barang dengan harga asal dengan keuntungan yang disepakti dan dibayar secara kredit.
i). Ba’i as salam
Yaitu proses jual beli di mana uang dibayar di muka lalu barangnya kemudian.
j). Ba’i al istisna
Yaitu jual beli berdasarkan perjanjian antara pemesan barang dengan pembuat barang.

4.      Prinsip sewa.

Yaitu perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang memperobolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang tersebut dengan syarat membayar sewa sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.
Ijaroh di bagi menjadi 3 yaitu:
a). Ijaroh mutlakah
Proses sewa menyewa yang di lakukan dalam kegiatan sehari-hari. Misalnya aji menyawa dvd kemudian bila masa penyewaan itu berakhir maka berakhir pula penyewaanya.
b). Ba’i ut ta jiri.
Yaitu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan atau dengan kata lain pembelian secara berangsur-angsur.
c). Musyarokah mutanaqisah
Yaitu gabungan dari musyrokah dengan ijaroh.

5.      Prinsip pengambilan

Prinsip ini di bagi menjadi 4 yaitu:

a). Al kafalah
Yaitu suatu jaminan yang diberikan kepada (kafil) penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yang di tanggungnya
b). Al wakalah
Perjanjian pemberian kuasa kepada pihak lain yang di tunjuk sebagai perwakilannya dalam melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.
c). Hiwalah
Pengalihan kewajiban dari suatu pihak yang memilki kewajiban kepada pihak lain.
d). Al ja’alah
Suatu kerja sama dimana pihak pertama menjanjikan imbalan kepada pihak kedua atas pelaksanaan tugas.

6.      Prinsip biaya administrsi

Perjanjian pinjam-meminjam uang atau barang yang tujuannya untuk membantu peminjam. Penerima pinjaman wajib mengembalikan hutangnya sesuain dengan jumlah uang yang di pinjam, apabila peminjam tidak mampu mengambalikan hutangnya maka peminjam tidak boleh di kenakan sanksi.

Dengan perbedaan tersebut BPRS berpotensi menjadi alternatif bagi masyarakat untuk melakukan simpan pinjam dengan pola yang sudah ada.[9]

H.   Tujuan BPRS
Tujuan operasionalisasi BPR Islam
·         Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat manusia terutama kelompok masyarakat ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
·         Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi.
·         Membina ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.[10]

I.       Kegiatan Operasional BPRS

1.      Mobilisasi dana masyarakat
BPR Islam akan mengerahkan dana masyarakat dalam berbagai bentuk seperti menerima simpanan wadiah, menyediakan fasilitas tabungan, deposito berjangka, fasilitas ini dapat dipergunakan untuk menitip infaq, sedekah dan lain-lain.
2.      Penyaluran dana
Penyediaan dana ini akan berguna jika ada masyarakat yang sewaktu-waktu membutuhkan dana untuk keperluannya. Dalam BPR sendiri banyak jenis pembiayaan seperti :
a.       Pembiayaan mudharabah
Pembiayaan mudharabah adalah perjanjian pembiayaan antara BPR Islam dengan pengusaha atau masyarakat, di mana pihak BPR sendiri menyediakan pembiayaan modal usaha atau proyek yang di kelola oleh pihak pengusaha, atau dasar perjanjian pembagian hasil.

b.      Pembiayaan musyarakah
Pembiayaan musyarakah adalah suatu perjanjian pembiayaan, di mana baik pihak BPR maupun pihak pengusaha secara bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang dikelola secara bersama-bersama atas dasar bagi hasil sesuai dengan perjanjian.

c.       Pembiayaan bai’u bithaman ajil
Pembiayaan jenis ini adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati antara BPR dengan nasabahnya, di mana pihak BPR menyediakan dana untuk pembelian barang/assets yang dibutuhkan nasabah untuk mendukung suatu usaha atau proyek.
Nasabah akan membayar secara mancicil dengan mark up yang didasarkan atas Opportunity cost project (OCP).

d.      Pembiayaan murabahah
Suatu perjanjian yang disepakati antara pihak BPR dengan nasabah, di mana BPR menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang di butuhkan nasabah, yang akan di bayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank.

e.       Pembiayaan Qardhul hasan
Perjajian pembiayaan antara BPR dengan nasabah yang di anggap layak menerima yang diperioritaskan bagi pengusaha kecil pemula yang berpotensi, akan tetapi tidak mempunyai modal apa pun selain modal kemampuan berusaha, serta perorangan lainnya yang berada dalam keadaan mendesak. Penerima kredit hanya diwajibkan mengembalikan pokok pinjaman pada waktu jatuh tempo dan bank hanya mengenakan biaya administrasi yang benar-benar untuk keperluan proses.




f.       Jaminan
Jaminan yang diutamakan pada dasarnya adalah usaha/proyek yang dibiayai oleh pembiayaan sendiri. Namun dalam beberapa hal mungkin disyaratkan adanya supporting collateral yang  berupa Jaminan kebendaan atas barang yang dibiayai oleh BPR sendiri atau jaminan lainnya.[11]



[1] Warkum Sumitro. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait Di Indonesia. Cet 1. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 1996. Hlm 107-110.
[2] Burhanuddin Susanto. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta : UII Press. Hlm 31.
[3] Warkum Sumitro. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait Di Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2004. Hlm 129.
[4]Pasal 20 dan pasal 27 peraturan bank indonesia nomor 8/25/PBI/2006
[5] Pasal 21 ayat 1 dan 2 peraturan bank indonesia nomor 8/25/PBI/2006
[6]Jundiani. Pengaturan Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia. Malang: UIN Malang Press. Hlm. 153-160. 2009.
[7]Pasal 22 ayat 6 peraturan BI nomor 8/25/PBI/2006
[8] Wirdyaningsih, dkk. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta : Kencana. 2005. Hlm 64.
[9]Muhamad. Bank syriah. Yogyakarta: ekonisia. 2002. Hlm 112-119.
[10] Warkum Sumitro. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait Di Indonesia............ Hlm 111.
[11] Warkum Sumitro. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait Di Indonesia............ Hlm 112-115.

Tidak ada komentar: