A. Pengertian BPRS
Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) menurut pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Perbankan No.7
Tahun 1992, adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan uang hanya dalam
bentuk deposito berjangka tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan menurut
pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, BPR adalah lembaga keuangan
bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan
prinsip syariah. Dengan demikian, Bank Perkreditan Rakyat Syariah dapat
diartikan sebagai sebuah lembaga keuangan sebagaimana Bank Perkreditan Rakyat
yang konvensional, yang operasionalnya memakai prinsip-prinsip syariah.
B. Sejarah
Berdirinya BPR Islam (Syariah)
Di Indonesia
sendiri Bank Perkreditan Rakyat Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah BPR
lainnya. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang setatus hukumnya disahkan dalam
paket kebijaksanaan keuangan moneter dan perbankan yaitu pada tanggal 27
Oktober 1988, pada hakikatnya merupakan penjelmaan model baru dari lumbung desa
dan bank desa yang beraneka ragam namanya yang ada di jawa khususnya sejak
akhir 1890-an dan sejak dikeluarkannya UU pokok perbankan, status hukumnya di
perjelas denagan izin tersebut, diikuti dengan upaya-upaya pembenahan terhadap
badan-badan kredit desa yang berproses menjadi lembaga keuangan bank.
Lumbung
desa sebagai sistem perkreditan rakyat zaman dahulu, dirasakan sangat
bermanfaat bagi masyarakat tani dipedasaan, karena pada waktu itu peredaran
uang belum menjangkau masyarakat tani di pedesaan sehingga pinjaman dalam
bentuk natura lebih menguntungkan dan lebih praktis dari pada pinjaman dalam
bentuk uang.
Di dalam
perkembangannya, kini para rentenir di dalam membantu petani tidak hanya berupa
pinjaman uang yang berbunga tinggi, tetapi juga memberikan pinjaman dalam
bentuk natura, beras, pangan dan lain sebagainya. Yang kesemua pembayarannya
dilakukan dalam bentuk uang sehingga praktis masih menerapkan sistem bunga yang
bersifat mencekik.
Keinginan
masyarakat terhadap BPR tanpa bunga tersebut mendapatkan angin segar
dengan adanya deregulasi di sektor perbankan sejak 1 juni 1988 yang memberikan
kebebasan kepada bank-bank termasuk BPR untuk menetapkan sendiri tingkat
bunganya.
Peluang
beroperasinya BPR tanpa bunga tersebut semakin terbuka setelah tanggal 27
oktober 1988 yang memberikan peluang berdirinya bank-bank baru termasuk bank
tanpa bunga.
Kepastian
peluang beroperasinya BPR tanpa bunga yang sesuai keinginan umat manusia tersebut
tanpak jelas dengan penjelasan lisan pemerintahan dalam rapat kerja dengan
komisi VII DPR RI tanggal 5 juni 1990, bahwa tidak ada halangan untuk
mendirikan atau mengoperasionalkan bank sesuai dengan prinsip syari’ah islam
sepanjang pengoperasian bank tersebut memenuhi kriteria kesehatan bank sesuai
dengan ketentuan bank Indonesia.
Dengan berbagai
upaya akhirnya program tersebut terealisir dengan menetapkan tiga lokasi yang
mempunyai potensi berdirinya BPR Islam, sebagai langkah awal yang lebih
kongkret. BPR Islam rintisan tersebut, adalah:
i.
PT.
BPR Dana Mardhatilah di Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung
ii.
PT.
BPR Berkah Amal Sejahtera di Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung
iii.
PT.
BPR Amanah Rabbaniah di Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung
Ketiga BPR tersebut akhirnya pada 8 Oktober 1990
telah mendapatkan izin prinsip Menteri Keuangan RI.
Dengan diperolehnya izin itu di lakukanlah
persiapan-persiapan yang lebih intensif, terutama yang menyangkut sumber daya
manusia sebagai pengelola bank yang lebih amanah dan profesional.[1]
C. Landasan Hukum
Pada
dasarnya, pendirian BPR Syariah mempunyai tujuan yang utama. Yang pertama yaitu menghindari riba; dan yang
kedua yaitu mengamalkan prinsip-prinsip syariah dalamperbankan khususnya Bank
Perkreditan Rakyat untuk tujuan kemaslahatan.
Di dalam
Al-Qur’an, beberapa
ayat yang menyinggung tentang pelarangan riba, diantaranya QS Ar-Rum [30]:39,
QS. Al-Baqarah [2]:275, QS. Al-Baqarah [4]:130, QS. An-Nisa[4]: 146, QS.
Al-Baqarah [2]:276, dan QS. Al-Baqarah [2]:278.
Berikut salah
satu contoh ayat larangan riba. (QS.Al-Baqarah 275) :
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174]
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba
nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang
dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam
masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak
tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun
ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Selanjutnya,
banyak hadits yang terkait dengan pelarangan riba. Salah satunya yaitu:
“Rasulullah SAW melaknat orang yang
memakan riba, orang yang memberi makan riba,penulis dan saksi riba”. (HR.Muslim)
Untuk
pengamalan prinsip-prinsip syariah, hal ini merupakan kewajiban bagi kita untuk menuangkannya ke semua aspek kehidupan, termasuk di dalam perbankan. Ketentuan ini mengacu pada kaidah fiqih, yang
artinya apabila hukum syara‟ dilaksanakan, maka pastilah akan tercipta kemaslahatan.[2]
D. Dasar Pemikiran
Beroperasinya BPR Syariah
Berdirinya BPR Islam di Indonesia selain didasari oleh
tuntutan bermuamalah secara Islam yang merupakan keinginan kuat dari sebagian
besar umat Islam di Indonesia, juga sebagai langkah aktif dalam rangka
restrukturisasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket
kebijaksanaan keuangan, moneter, perbankan secara umum. Secara
khusus adalah mengisi peluang terhadap kebijaksanaan yang membebaskan bank
dalam penetapan tingkat suku bunga (rate interest), yang kemudian dikenal
dengan bank tanpa bunga.[3]
E. Persyaratan dan Tata Cara Pengurusan BPRS
Persyaratan dan
tata cara pengurusa BPRS telah di tuangkan dalam bank Indonesia nomor 8/25/PBI/2006
tentang perubahan bank indonesia nomor 6/17/2004 tentang BPR yang berprinsip
pada syariah. Sebagai pertimbangan di keluarkannya peraturan bank indonesi
nomor 8/25/PBI/2006 adalah dibutuhkannya pengolaan yang profesional.
Pengurus BPRS
terdiri dari Direksi dan Dewan komisaris. Sedangkan kewajiban BPRS untuk
membentuk dan memiliki dewan pengawas syariah yang berkedudukan di kantor pusat
telah di atur oleh bank Indonesia
tersebut.[4]
Persyaratan
bagi keanggotaan Direksi dan Dewan komisaris sebagai pengurus BPRS adalah wajib
untuk memenuhi integrasi, kompetisi dan reputasi keuangan, sehubungan dengan
persyaratan integrasi yang wajib
dimiliki anggota Direksi dan Dewan komisaris sebagai pengurus bank adalah
pihak-pihak yang memenuhi kualifikasi antara lain: memiliki akhlaq dan moral
yang baik, memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang undangan yang
berlaku dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap operasional bank yang sehat.[5]
Persyaratan
kompetensi yang wajib oleh anggota direksi sebagai pengurus bank syariah adalah
pihak-pihak yang memilik pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan
relavan dengan jabatannya. Pengtahuab pebankan
tersebut yang meliputi peraturan dan operasional BPRS. Calon direksi tersebut
memiliki pengalaman dan keahlian di bidang perbankan atau bidang keuangan yang
meliputi: bidang operasiona, pemasaran ,pembukuan, pendanaan, perkreditan,
pasar uang atau hukum yang berkaitan dengan perbankan dan memiliki kemampuan
untuk pengolahan strategis dalam rangka pengembangan BPRS yang sehat, kemampuan
untuk melakukan pengolahan strategis adalah kemampuan untuk mengantisipasi
perkembangan perekonomian regioanal, keuangan dan perbankan,
mengiterprestasikan visi menjadi misi BPRS dan analisa situasi industri
perbankan.
BPRS wajib
mengajukan calon direksi dan anggota dewan komisaris untuk memperoleh
persetujuan dari bank indonesia sebelum di angkat oleh rapat anggota.
Persetujuan atau penolakan calon anggota dewan komisaris dan calon direksi
dilakukan melalui penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai kemampuan yang
berlaku.[6]
1. Dewan komisaris BPRS
Pengaturan
pengaturan dewan komisaris sekurang-kurangnya 2 orang dan sebanyak-banyaknya 3
orang dan sekurang-kurangnya 1 orang.
Anggota
komisaris wajib memiliki pengetahuan atau pengalaman di bidang perbankan atau
di bidang keuangan lainnya di bidang konvensional ataupun syariah.
Anggota
dewan komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota dewan komisaris,
sebanyak-banyak pada 3 bank lain atau dewan komisaris.
2. Direksi BPRS
Jumlah
keanggotaan BPRS dalam kegiatan opersional bank adalah paling sedikit 2 orang.
Kewajiban anggota direksi lain yang belum berpengalam dalam pengolaan perbankan
syariah adalah mengikuti pelatiha perbankan syariah.
BPRS
di tuntut untuk di kelola secara operasional. Dengan pengolahan tersebut maka
telah di laksaakan
penambahan ketentuan lembaga setifikasi bagi pengurus BPRS, yang mengatur
anggota direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan dari lembaga sertifikasi.[7]
F. Pendirian BPRS
Modal awal
untuk mendirikan BPRS menurut PBI No. 6/17/PBI/2004 ditetapkan
sekurang-kurangnya sebesar:
1. 2.000.000.000,-
(dua miliar rupiah) untuk BPRS yang di dirikan di wilayah DKI Jakarta,
Tanggerang, Bogor, Depok, Bekasi.
2. 1.000.000.000,-
(satu miliar rupiah) untuk BPRS yang di dirikan di wilayah ibu kota provinsi di
luar jawa.
3. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang di dirikan di luar wilayah pada point
a dan b.[8]
G. Prinsip-Prinsip
Dalam BPRS
1. Prinsip simpanan
Prinsip ini di kenaal dengan nama wadiah yang artinya adalah perjanjian
antara pemilik barang, dimana pihak penyimpan bersedia menjaga keselamatan
barang yang di titipkan kepadanya.
2.
Prinsip
bagi hasil
Prinsip bagi hasil
ada 2 yaitu: musyarakah yaitu
perjanjian antara kedua belah pihak atau lebih dalam perjanjiannya pemilik
modal membiayai suatu usaha, sedangkan keuntungannya dibagi sesuai dengan
kesepakatan dan begitupun soal kerugiannya.
Mudharabah yaitu
perjanjian antara pemilik modal dengan pengusaha dimana modal sepenuhnya
berasal dari pemodal, dan pemilik modal tidak ikut campur dalam urusan
usahanya, apabila usaha mengalami kerugian maka kerugian tersebut di tanggung
oleh pemilik modal.
3. Prinsip pengembalian keuntungan
Prinsip ini lebih di kenal dengan
jual beli yaitu proses pemindahan hak milik dengan menggunakan uang sebagai
media.
(syafe’i antonio. 1993. 21-29)
macam macam jual beli adalah:
a).
Al musawamah
Yaitu jual beli biasa di mana
penjual memasang harga tanpa memberitahu si pembeli dan berapa keuntungan yang
di ambilnya.
b).
At tauliyah
Yaitu menjual dengan harga beli
tanpa mengambil
keuntungan sedikitpun seolah olah si penjual menjadikan pembeli sebagai
walinya.
c).
Murabahah
Yaitu menjual barang dengan harga
asal ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati.
d).
Muadhaah
Yaitu menjual dengan harga yang lebih
rendah dari harga yang dibeli atau dengan kata lain kebalikan dari murabahah.
e).
Al muqayadhah
Yaitu bentuk awal dari jual beli,
dimana transaksi barang ditukar dengan barang (barter).
f).
Al mutlaq
Yaitu penjual biasa dimana barang
ditukar dengan uang.
g).
Ash sharf
Yaitu jual beli valuta asing dimana
barang ditukar dengan uang.
h).
Ba’i bithamal ajil
Yaitu menjual barang dengan harga
asal dengan keuntungan yang disepakti dan dibayar secara kredit.
i).
Ba’i as salam
Yaitu proses jual beli di mana uang
dibayar di muka lalu barangnya kemudian.
j).
Ba’i al istisna
Yaitu jual beli berdasarkan perjanjian
antara pemesan barang dengan pembuat barang.
4. Prinsip sewa.
Yaitu perjanjian antara
pemilik barang dengan penyewa yang memperobolehkan penyewa untuk memanfaatkan
barang tersebut dengan syarat membayar sewa sesuai dengan perjanjian kedua
belah pihak.
Ijaroh
di bagi menjadi 3 yaitu:
a).
Ijaroh mutlakah
Proses sewa menyewa yang di lakukan
dalam kegiatan sehari-hari. Misalnya aji menyawa dvd kemudian bila masa
penyewaan itu berakhir maka berakhir pula penyewaanya.
b).
Ba’i ut ta jiri.
Yaitu kontrak sewa yang diakhiri dengan
penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran
sewa telah diperhitungkan atau dengan
kata lain
pembelian secara berangsur-angsur.
c).
Musyarokah mutanaqisah
Yaitu gabungan dari musyrokah
dengan ijaroh.
5. Prinsip pengambilan
Prinsip ini di bagi menjadi 4
yaitu:
a). Al kafalah
Yaitu suatu jaminan
yang diberikan kepada (kafil) penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua yang di tanggungnya
b).
Al wakalah
Perjanjian
pemberian kuasa kepada pihak lain yang di tunjuk sebagai perwakilannya dalam
melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.
c).
Hiwalah
Pengalihan kewajiban dari suatu
pihak yang memilki kewajiban
kepada pihak lain.
d).
Al ja’alah
Suatu kerja sama dimana pihak
pertama menjanjikan imbalan kepada pihak
kedua atas pelaksanaan
tugas.
6. Prinsip biaya administrsi
Perjanjian pinjam-meminjam uang
atau barang yang tujuannya untuk membantu peminjam. Penerima pinjaman wajib
mengembalikan hutangnya sesuain dengan jumlah uang yang di pinjam, apabila
peminjam tidak mampu mengambalikan hutangnya maka peminjam tidak boleh di
kenakan sanksi.
Dengan perbedaan tersebut BPRS
berpotensi menjadi alternatif bagi masyarakat untuk melakukan simpan pinjam
dengan pola yang sudah ada.[9]
H. Tujuan BPRS
Tujuan operasionalisasi
BPR Islam
·
Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat manusia terutama kelompok masyarakat ekonomi lemah
yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
·
Menambah
lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi.
·
Membina
ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan
per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.[10]
I. Kegiatan
Operasional BPRS
1. Mobilisasi dana masyarakat
BPR
Islam akan mengerahkan dana masyarakat dalam berbagai bentuk seperti menerima
simpanan wadiah, menyediakan fasilitas tabungan, deposito berjangka, fasilitas
ini dapat dipergunakan untuk menitip infaq, sedekah dan lain-lain.
2. Penyaluran dana
Penyediaan
dana ini akan berguna jika ada masyarakat yang sewaktu-waktu membutuhkan dana
untuk keperluannya. Dalam BPR sendiri banyak jenis pembiayaan seperti :
a. Pembiayaan mudharabah
Pembiayaan
mudharabah adalah perjanjian pembiayaan antara BPR Islam dengan pengusaha atau
masyarakat, di mana pihak BPR sendiri menyediakan pembiayaan modal usaha atau
proyek yang di kelola oleh pihak pengusaha, atau dasar perjanjian pembagian
hasil.
b. Pembiayaan musyarakah
Pembiayaan
musyarakah adalah suatu perjanjian pembiayaan, di mana baik pihak BPR maupun
pihak pengusaha secara bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang dikelola
secara bersama-bersama atas dasar bagi hasil sesuai dengan
perjanjian.
c. Pembiayaan bai’u bithaman ajil
Pembiayaan jenis
ini adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati antara BPR dengan
nasabahnya, di mana pihak BPR menyediakan dana untuk pembelian barang/assets
yang dibutuhkan nasabah untuk mendukung suatu usaha atau proyek.
Nasabah akan membayar secara
mancicil dengan mark up yang didasarkan atas Opportunity cost project (OCP).
d. Pembiayaan murabahah
Suatu perjanjian
yang disepakati antara pihak BPR dengan nasabah, di mana BPR menyediakan
pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang di butuhkan
nasabah, yang akan di bayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank.
e. Pembiayaan Qardhul hasan
Perjajian
pembiayaan antara BPR dengan nasabah yang di anggap layak menerima yang
diperioritaskan bagi pengusaha kecil pemula yang berpotensi, akan tetapi tidak
mempunyai modal apa pun selain modal kemampuan berusaha, serta perorangan
lainnya yang berada dalam keadaan mendesak. Penerima kredit hanya diwajibkan
mengembalikan pokok pinjaman pada waktu jatuh tempo dan bank hanya mengenakan
biaya administrasi yang benar-benar untuk keperluan proses.
f. Jaminan
Jaminan
yang diutamakan pada
dasarnya adalah usaha/proyek yang dibiayai oleh pembiayaan sendiri. Namun dalam
beberapa hal mungkin disyaratkan adanya supporting
collateral yang berupa Jaminan
kebendaan atas barang yang dibiayai oleh BPR sendiri atau jaminan lainnya.[11]
[1]
Warkum Sumitro. Asas-Asas Perbankan Islam
dan Lembaga-Lembaga Terkait Di Indonesia. Cet 1. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada. 1996. Hlm 107-110.
[3]
Warkum Sumitro. Asas-Asas Perbankan Islam
dan Lembaga-Lembaga Terkait Di Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada. 2004. Hlm 129.
[4]Pasal
20 dan pasal 27 peraturan bank indonesia nomor 8/25/PBI/2006
[5]
Pasal 21 ayat 1 dan 2 peraturan bank indonesia nomor 8/25/PBI/2006
[6]Jundiani.
Pengaturan Hukum Perbankan Syariah Di
Indonesia. Malang: UIN Malang Press. Hlm. 153-160. 2009.
[7]Pasal
22 ayat 6 peraturan BI nomor 8/25/PBI/2006
[8] Wirdyaningsih,
dkk. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia.
Jakarta : Kencana. 2005. Hlm 64.
[9]Muhamad. Bank syriah. Yogyakarta: ekonisia. 2002.
Hlm 112-119.
[10]
Warkum
Sumitro. Asas-Asas Perbankan Islam dan
Lembaga-Lembaga Terkait Di Indonesia............ Hlm 111.
[11]
Warkum
Sumitro. Asas-Asas Perbankan Islam dan
Lembaga-Lembaga Terkait Di Indonesia............ Hlm 112-115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar