A. Khalifah Utsman bin Affan
1.
Kelahiran
Utsman bin Affan
Nama lengkap dari Khalifah Utsman bin
Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abd Al-Manaf dari
suku Quraisy. Lahir pada tahun 576 M, yaitu 6 tahun setelah penyerangan ka’bah
oleh pasukan bergajah atau 6 tahun setelah kelahirannya Rasulallah SAW. Ibu
dari Khalifah Utsman bin Affan yaitu Ulfi bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin
Abdi Asy-Syams bin Abd Al-Manaf. Usman bin Affan masuk islam pada usia 30
tahun, dan masuknya karena di ajak oleh Abu Bakar. Setelah Utsman bin Affan
masuk islam, ia sering mendapat siksaan dari pamannya,yaitu Hakim bin Abil Ash.
Nama pamannya di juluki dengan sebutan dzun nurain, karena menikahi dua
putri Rasulallah SAW. Secara berurutan setelah yang satu meneinggal, yakni
Ruqayyah dan Ummu Kulsum.[1]
Khalifah utsman bin Affan adalah
seseorang yang sangat rajin dalam melakukan ritual ibadah dan juga sosial.
Utsman hidup bersama istrinya dan kemudian iku hijrah ke Abesinia dan itu
termasuk muhajir pertama ke yastrib. Dalam kesehariannya ia gunankan untuk
ibadah saum dan dalam malam harinya ia gunakan untuk sholat. Utsman bin Affan
juga sangat gemar membaca Al-Qur’an, sehingga untuk shalat dua rakkat saja ia
menghabiskan waktu yang sngat lama, bahkan ketika Utsman bin Affan meninggal
dunia Al-Qu’annya itu berada dalam pangkuannya. Kesalehan Utsaman bn Affan itu
tidak bisa diragukan lagi, Salah buktinya adalah Utsman bin affan sebelum
meninggal dunia ia membeli telaga milik Yahudi dengan harga 12.000 dirham dan
menghibahkannya kepada kaum muslimin pada saat hijrah ke Yastrib. Utsman bin
Affan merupakan orang yang sangat penyayang, sehingga ketika suatu pagi Utsman
hendak mengambil air wudu untuk melakukan sholat, ia tidak tega membangunkan pelayannya
untuk melayaninya berwudu, padahal ia sedang sakit dan sudah udzur.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW. Utsman bin
Affan mengikuti beberapa peperangan, di ntaranya yaitu perang Uhud, Khaibar,
pembebasan kota mekah, perang Thaif, Hawazin, dan Tabuk. Perang yang tidak di
ikuti oleh Utsman pada saat itu adalah Perang Badar karena disuruh oleh Nabi
Muhammad SAW untuk menunggu istrinya yang sedang sakit dan sampai meninggalnya.
2. Proses Pengangkatan Khalifah Utsman bin
Affan
Sebelum meninggalnya Utsman bin Affan,
ia telah memanggil tiga calon untuk menggantikannya sebagai Khalifah Umar.
Calon yang telah dipilih oleh Umar yaitu Utsman, ‘Ali, dan Sa’ad bin Abi
Waqqash. Ketika semua calon terkumpul dalam pertemuan yang diadakan oleh
Khalifah Umar, Ia berpesan bahwa seseorang yang menggantikannya sebagai Khalifah selanjutnya, agar tidak mengangkat
kerabat sebagai pejabat. Disamping itu Umar telah membentuk dewan formatur
bejumlah 6 orang, bertugas untuk memilih penggantinya kelak, yaitu Ali, Utsman,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Abd Ar-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin
Ubaidillah. Di samping itu Abdullah bin Umar juga dijadikan sebagai anggota,
tetapi tidak memiliki tidak memiliki hak suara.
a. Mekanisme dalam suatu pemilihan Khalifah
ditentukan sebagai berikut:
1) Yang berhak menjadi Khalifah adalah yng
dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak.
2) Apabila suara terbagi secara berimbang,
Abdullah bin Umar yang berhak menentukannya.
3) Apabila campur tangan Abdullah bin Umar
tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat
menjadi Khalifah.
Dengan adanya mekanisme atau aturan
yang telah dibentuk, salah satu anggota dari calon Khalifah yaitu Ali, dia
mengkhawatirkan dengan mekanisme itu. Karena Abd Ar-Rahman yang mempunyai
kedudukan strategis dalam pemilihan (deadlock) tidak bisa berlaku a Utsman dan
Abd Ar-Rahman terdapat hubungan kekerabatan. Kemudian Ali meminta Agar Abd
Ar-Rahman berjanji agar selalu berlaku adil, tidak memihak, tidak mengikuti
kemauan sendiri, tidak mengistimewakan keluarga, dan tidak menyulitkan uamat.
Setelah Abd Ar-Rahman berjanji, Ali pun menyetujuinya.
Langkah yang pertama dilakukan oleh
Abd Ar-Rahman setelah meninggalnya Umar adalah meminta pendapat kepada anggota
formatur agar membicarakan calon yang tepat untuk menjadi Khalifah selanjutnya.
Dengan tujuan tidak ada kekecewaan yang terjadi di hari esok dan tidak ada
konflik yang tidak diinginkan. Kemudian setelah musyawarah yang dilakukan para
formatur di pilihlah dua calon Khalifah, yaitu Utsman dan Ali. Kemudian saat
diadakan pemilihan suara di luar sidang formatur yang dilakukan oleh Abd
Ar-Rahman, terjadi pemilihan silang antara Utsman dan Ali. di samping itu,
Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqqash memberikan suaranya pada Utsman. Sementara
Thalhah tidak ditanya untuk memberikan suaranya terhadap calon Khalifah, karena
Thalhah pada saat itu, sedang berada di luar madinah dan tidak bisa dihubungi.
Setelah pemilihan itu selesai, Abd Ar-Rahman bermusyawarah dengan masyarakat
dan para pembesar di luar anggota formatur. Hasil dari pemilihan tersebut,
ternyata masyarakat terbagi dalam dua kubu, yaitu kubu Bani Hasyim dan kubu
Bani Ummayah.
Setelah bermusyawarah dengan para
pembesar dan masyarakat, Abd Ar-Rahman memanggil Ali untuk menanyakan,
bagaimana jika terpilih menjadi Khalifah, apakah dia sanggup dalam melaksanakan
tugasnya berdasarkan ketentuan dari Al-Qur’an, sunnah Rasul, dan kebijakan yang
dilaukan dua Khalifah sebelumnya? Kemudian Ali hanya menjawab, bahwa dia akan
melakukan tuganya dengan sejauh pengetahuan dan kemampuan yang ia miliki.
Kemudian setalah selesai mengajukan kepda Ali, Abd Ar-Rahman memanggil Utsman
dan memberikan petanyaan yang sama seperti pertanyaan yang dii ajukan kepada
Ali. Lalu Utsman menjawab dengan tegas bahwa ia sanggup dalam tugas yang di
ajukan kepadanya sebagai Khalifah selanjutnya.
Abd Ar-Rahman pun memberikan
keputusan hasil dari pemilihan dan musyawarah yang telah dilakukan sebelumnya,
dan juga berdasarkan jawaban dari
pertanyaan yang di ajukan oleh Abd Ar-Rahman kepada calon Khalifah,
bahwa yang berhak menjadi Khalifah ke tiga
adalah Utsman bin Affan, dan setelah itu disegerakanlah melaksankan
bai’at. Pada saat Utsman di angkat menjadi Khalifah, usianya itu 70 tahun. Pada
saat itu Ali sangat kecewa dengan cara yang di lakukan oleh Abd Ar-Rahman
tersebut, bahkn Ali menuduh bahwa dengan terpilihnya Utsman bin Affan menjadi
Khalifah itu sudah di rencanakan sebelumnya antara Abd Ar- Rahman dan Utsman,
oleh karenanya pada saat itu Ali beranggapan bahwa yang berkuasa adalah
kelompok Abd Ar-Rahman bin Auf.
3. Masa Pemerintahan dan Peradaban Utsman
bin Affan
Masa pemerintahan Utman bin Affan
merupakan masa kepemimpinan yang paling lama dibandingkan dengan Khalifah
sebelumnya. Berikut data periode
kepemimpinan dari Khalifah setelah Nabi SAW:
1) Abu Bakar Ash-Shiddiq: 2 tahun, 11-13
H./ 632-634 M.
2) Umar bin Khattab: 10 tahun, 13-23 H./
634-644 M.
3) Utsman bin Affan: 12 tahun, 24-36 H./
644-656 M.
4) Ali bin Abi Thallib: 5 tahun, 36-41 H./
656-661 M.
Di awal kepemimpinan Utsman bin Affan,
kira-kira 6 tahun Khalifah Utsman sudah banyak prestasi didalam
pemerintahannya. Yaitu dengan bertambahnya perluasan pemerintahan Islam di
kawasan Asia dan Afrika, seperti daerah Herat, Kabul, Ghazni, Asia Tengah,
Armenia, Tunisia, Cyiprus, Rhodes,dan bagian yang tersisa dari Persia. Utsman juga berhasil menumpas
pemberontakan yang dilakukan orang Persia, selain itu didalam ilmu sosial
budaya juga Utsman bin Affan telah membangun bendungan besar untuk mencegah
banjir dan mengatur pembagian air ke kota. Utsman bin Affan juga membangun
jalan, jembatan, masjid, rumah penginapan para tamu dalam berbagai bentuk,
serta memperluas Masjid Nabi di Madinah, yang telah dilengkapi dengan khafilah
dan fasilitas bagi para pendatang. Tempat persedian air dibangun di Madinah, di
kota-kota padang pasir, dan di ladang-ladang peternakan unta dan kuda.
Semua pembangunan sarana umum tersebut,
menunjukan bahwa Utsman bin Affan sebagai khalifah yang sangat memperhatikan
kemaslahatan publik sebagai bentuk dari manifestasi kebudayaan sebuah
masyarakat.
Utsman bin Affan juga ketika menjadi Khalifah, ia mempunyai karya
besar monumental Khalifah Utsman, yaitu membukukan suatu mushaf Al-Qur’an.
Dalam pembukuannya itu didasarakan atas alasan untuk mengakhiri suatu perbedaan
bacaan di kalangan umat Islam yang mana hal tersebut di ketahui pada saat
ekspedisi militer ke Amerika dan Azerbaijan. Pembukuan dilaksanakan oleh suatu
kepanitiaan yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit.
4. Visi dan Misi Khalifah Utsman bin Affan
Ketika Utsman bin Affan menjadi
Khalifah, beliau mempunyai visi dan misi dalam menjalankan kekhalifahannya,
dapat dilihat dari isi pidato setelah Utsman bin Affan dibai’at menjadi
Khalifah ketiga negara Madinah.
Pidato yang di kutip oleh Al-Maududi dan
At-Thabari dan juga Suyuthi pulungan, yaitu berisi:
“
Sesungguhnya tugas ini telah dipikulkan kepadaku dan aku telah menerimanya dan
sesungguhnya aku adalah seorang muttabi’ ( pengikut Sunnah Rasul ) dan
bukan mubtadi’ ( orang yang berbuat bid’ah ). Ketahuilah bahwa kalian
berhak menuntut aku mengenai tiga hal, selain kitab Allah dan Sunnah Nabi,
yaitu mengikuti aapa yang telah di lakukan oleh orang-orang sebelumku dalam
hal-hal yang kamu sekalian telah bersepakat dan telah kamu jadikan sebagian sebagian
kebiasaan, membuat kebiasaan yang layak bagi ahli kebajikan dalam hal-hal yang
belum kamu jadikan kebiasaan dan mencegah diriku bertindak atas kamu, kecuali
dalam hal-hal yang kamu sendiri menyebabkannya[2].”
Pidato
diatas, menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih
bercorak agama ketimbang corak politik an sich. Dalam pidato itu, Utsman
mengingatkan beberapa hal penting:
1) Agar umat Islam selalu berbuat baik
sesuai kemampuan sebagai bekal menghadapi hari kematian dan akhir sebagai
tempat yang lebih baik yang disediakan oleh Allah;
2) Agar umat Islam jangan terpedaya kemehan hidup
dunia yang penuh kepalsuan sehigga membuat mereka lupa kepada Allah;
3) Agar umat Islam mau mengambil iktibar
pelajaran dari masa lalu, mengambil yang baik dan menjauhkan yang buruk;
4) Sebagai Khalifah ia akan melaksanakan
perintah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul;
5) Di samping itu Utsman akan meneruskan
apa yang telah dilakukan pendahulunya, jug akan membuat hal-hal baru yang membawa
pada kebijakan;dan
6) Umat Islam boleh mengkritiknya bila
Utsman menyimpang dari ketentuan hukum.
Dalam pidato pembai’atnya, Utsman
tegaskan akan meneruskan kebiasaan yang dibuat pendahuluanya. Pemegang
kekuasaan tertinggi berada di tengah khalifah; pemegang kekuasan eksekutif.
Pelaksanaan tugas eksekutif. Pelaksanaan tugas eksekutif di pusat dibantu oleh
sekretris negara dan dijabat oleh Marwan bin Hakam, anak paman khalifah. Dalam
praktiknya, Marwan tidak hanya sebagai sekretaris negara, tetapi juga sebagai
penasihat pribadi khalifah. Selain sekretaris negara Khalifah Utsman juga
dibantu oleh pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat keuangan atau Baitul
Mal, seperti pada masa pemerintahan Umar.
Untuk pelaksanaan administrasi
pemerintahan di daerah, Khalifah Utsman mempercayakannya kepada seorang
gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi.
Pada masanya, wilayah kekuasaan Negara Madinah dibagi menjadi sepuluh
provinsi:
1) Nafi’ bin Al-Haris Al-Khuza’I, Amir
wilayah Mekah;
2) Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi, Amir
wilayah Thaif;
3) Ya’la bin Munabbih Halif Bani Naufal bin
Abd Manaf, Amir wilayah Shan’a;
4) Abdullah bin Abi Rabi’ah, Amir wilayah
Al-Janad;
5) Utsman bin Abi Al-Ash Ats-Tsaqafi, Amir
wilayah Bahrain;
6) Al-Mughirah bin Syu’bah Ats-Tsaqafi,
Amir wilayah Kufah;
7) Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ari,
Amir wilayah Bashrah;
8) Muawiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah
Damaskus;
9) Umar bin Sa’ad, Amir wilayah Himsh; dan
10) Amr bin Al-Ash As-Sahami, Amir wilayah
Mesir.
Setiap Amir adalah wakil dari Khalifah
di daerah untuk melaksanakan tugas administrasi pemerintahan dan bertanggung
jawab kepadanya. Seorang amir di angkat dan di berhentikan oleh Khalifah.
Kedudukan amir di samping kepala pemerintahan daerah, amir juga sebaga pemimpin
agama, pemimpin akspedisi militer, penetap undang-undung, dan pemutus perkara,
yang di bantu oleh khatib ( sekretaris ), pejabat pajak, pejabat keuangan (
baitul mal ), dan pejabat kepolisian.
Adapun kekuasaan legislatif dipegang
oleh Dewan Penasehat atau Majlis Syura, yang mana itu sebagai tempat Khalifah
mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi terkemuka.
Majlis Syura juga merupakan suatu memberikan saran, usul, dan nasehat kepala
khalifah tentang berbagai masalah penting yang dihadapi Negara. Akan tetapi,
pengambilan keputusan terakhir berada pada tangan khalifah. Artinya ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul,
dibicarakan di dalam majelis itu dan diputuskan oleh khalifah atas persetujuan
anggota majelis. Dengan demikian, Majelis Syura diketuai oleh khalifah.
5. Tragedi Perang Pada Pemerintahan Utsman
bin Affan dan Wafatnya
Pada saat pemerintahan Utsman bin Affan,
ada peristiwa peperangan yang terjadi, yaitu perang dinamakan “Perang Zatis
Sawari” atau nama lain dari “Perang Tiang Kapal”, yaitu suatu peperangan di
tangah lautan yang belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., Khalifah Abu
Bakar, dan Umar. Disebut dengan Perang Zatis Sawari, karena pada perang
tersebut dilakukan di Laut Tengah dekat kota Iskandariyah antara tentara Romawi
yang dalam pimpinan Khaisar Constantine dan laskar kaum muslimin dalam
pimpinanya Abdullah bin Abi Sarah yang membawa pasukan umat islam kurang lebih
sebanyak 200 kapal.
Setelah melewati masa dengan berbgaai
prestasi, pada titik terakhir Khalifah Utsman menghadapi pemberontakan dan
pembangkangan di dalam dan di luar negri. Pemberontakan yang di dalam negri itu lebih terpusat pada
kebijakan-kebijakan Khalifah yang nepotis, harta kekayaan umum yang hanya berputar
pada kalangan keluarga dan sikapnya yang tidak tegas terhadap sahabat utama.
Adapun di luar negri, pemberontakan lebih banyak berasal dari negri-negri yang
ditaklukan, seperti Romawi dan Persia yang menambah dendam dan sakit hati
karena sebagian wilayahnya telah diambil oleh kaum muslimin. Selain itu juga
fitnah yang disebarkan oleh orang Yahudi dari suku Qainuqa dan Nadhir serta
Abdullah bin Saba. Pemberontakan dan pembangkangan yang terjadi ini menyebabkan
tewasnya Khalifah Utsman pada tahun 35 H.
B.
Khalifah ali bin abi thalib
1.
Proses pengangkatan ali bin abi thalib
Pengukuhan ali menjadi khalifah tidak
semulus pengukuhan tiga orang khlifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah
suasana berkabung atas meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta
kebingungan umat Islam di Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh
Utsaman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman
terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang
ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi
Waqqash, da Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah,
namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan
Muhajirin lebih mengingatkan Ali menjadi khalifah. Setalah massa rakyat
mengemukakan bahwa umat islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak
terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi
khalifah.
Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari
Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair,
tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin
khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan
Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at
Ali. Riwayat lain menyakatakan mereka bersedia membai’at jika nanti mereka
diangkat menjadi gubernur di Kufah dan Bashrah. Akan tetapi, riwayat lain
Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali [3].
Salah seorang tokoh yang menolak untuk
membai’at Ali dan menunjukan sikap konfrontasi adalah Muawiyah bin Abi Sufyah,
keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya
Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.
Setelah Ali bin Abi Thalib dibai’at
menjadi khalifah di masjid Nabawi, ia menyampaikan pidato penerimaan jabatannya
sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan
kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk yang menerangkan yang baik dan yang buruk
maka hendaklah kamu ambil yang baikdan tinggalkan yang buruk.
Kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke surga,
Sesungguhnya Allah telah mengahramkan apa yang haram, dan memuliakan kehormatan
seorang muslim, berarti memuliakan kehormatan seluruhnya, da memuliakan
keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim. Hendaklan setiap muslim menyelamatkan
manusia dengan kebenaran lisan dan tangannya. Tidak boleh menyakitkan seorang
muslim, kecuali ada yang membolehkannya. Segeralah kamu melaksanakan urusan
kepentingan umum. Sesungguhnya (urusan) manusia menanti di depan kamu dan orang
yang di belakang kamu sekarang bisa membatasi, meringnkan (urusan) kamu.
Bertakwalah kepada Allah sebagai hamba Allah kepada hamba-hamba-Nya dan negeri-Nya.
Sesungguhnya kamu bertanggung jawab (dalam segala urusan) termasuk urusan tanah
dan binatang (lingkungan). Dan taatlah kepada Allah dan jangan kamu
mendurhakainya. Apabila kamu melihat yang baik, ambillah dan jika kamu melihat
yang buruk, tinggalkanlah. Dan ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit lagi
tertindas di muka bumi.” “Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana
yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya.
Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah
jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus
tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang merata dan
umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam.”
2.
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul
Muthallib. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. yang kemudia menjadi menantunya
karena menikahi putri Nabi Muhammad SAW., Fatimah. Ia masuk Islam ketika
usianya sangat muda dan termasuk orang pertama masuk Islam dari golongan pria.
Mahmudunnasir selanjutnya menulis bahwa
Ali termasuk salah seorang yang baik dalam memainkan pedang dan pena, bahkan ia
dikenal sebagai seorang orator.
Menurut Ali Mufrodi, setelah wafatnya
Utsman bin Affan, banyak sahabat yang sedang mengunjungi wilayah-wilayah yang
baru ditaklukkan, yang di antaranya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam. Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menyebabkan perpecahayan di
kalangan umat Islam menjadi empat golongan, yakni: 1) Pengikut Utsman, yaitu
yang menuntut balas atas kematian Utsman dan mengajukan Muawiyah sebagai
khalifah; 2) pengikut Ali. ‘yang mengajukan Ali sebagai khalifah; 3) kaum moderat, tidak mengajukan
calon, menyerahkan urusannya kepada Allah; 4) golongan yang berpegang pada
prinsip jamaah, di antaranya Salad bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari,
Ushaman bin Zaid, dan Muhammad bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang
sahabat dan tabi’in yang memandang bahwa Utsaman dan Ali sama-sama sebagai
pemimpin [4].
Ali adalah calon terkuat untuk menjadi
khalifah, karena banyak didukung oleh para sahabat senior, bahkan para
pemberontak kepada khalifah Utsman mendukungnya termasuk Abdullah bin Saba [5],
dan tidak ada seorang pun yang bersedia dicalonkan. Asal mulanya, Ali menolak
pencalonan dirinya, namun kemudian menerimanya demi kepentingan Islam pada
tanggal 23 Juni 656 M [6].
Alasan penolakan Ali karena ia selalu berpandangan bahwa, “ada orang yang lebih
baik daripadanya.”
Yang pertama dilakukan Khalifah Ali
adalah menarik kembali semua tanah yang telah dibagikan Khalifah Utsman kepada
kaum kerabatnya kepada kepemilikan negara dan mengganti semua gubernur yang
tidak disenangi rakyat, di antaranya Ibnu Amir penguasa Bashrah diganti Utsman
bin Hanif, Gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta untuk meletakkan jabatan,
tetapi menolak, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali [7].
Pemerintahan Khalifah Ali merupakan
pemerintahan yag tidak stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum
muslimin sendiri. Pemberontakan pertama dating dari Thalhah dan Zubair diikuti
oleh Siti Aisyah yang kemudian terjadi Perang Jamal karena Siti Aisyah pada
waktu itu menggunakan unta dalam perang melawan Ali. Pemberontak kedua dating
dari Muawiyah, yang menolak meletakkan jabatan.
Pemberontakan pertama diawali oleh
penarikan bai’at oleh Thalhah dan Zubair, karena alasan bahwa Khalifah Ali
tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh Khalifah Utsman. Siti
Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair untuk menentang Khalifah Ali, karena
alasan penolakan Ali menghukum pembunuh Utsman [8],
bisa juga karena alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah bin Zubair.
Khalifah Ali telah berusaha untuk
menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan kompromi, tetapi beliau tidak
berhasil sampai akhirnya terjadi pertempuran antara Khalifah Ali bersama
pasukannya dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah bersama pasukannya. Perang ini
terjadi pada tahun 36 H. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan
diri dam Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Setelah Khalifah menyelesaikan
pemberontakan Thalhah dan Zubair, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke Kufah.
Peperangan antara umat Islam terjadi
lagi, yaitu antara khalifah Ali bersama pasukannya dengan Muawiyah sebagai
gubernur Suriah bersama pasukannya. Perang ini terjadi karena khalifah Ali
ingin menyelesaikan pemberontakan Muawiyah yang menolak peletakan jabatan dan
secara terbuka menentang khalifah dan tidak mengakuinya. Perangan ini terjadi
di kota Shiffin pada tahun 37 yang hamper saja dimenangkan oleh Khalifah Ali.
Atas kecerdikan Muawiyah yang dimotori oleh panglima perangnya Amr bin ash,
mengacungkan Al-Qur’an dengan tombakny, mempunyai arti bahwa mereka mengajak
berdamai dengan menggunakan Al-Qur’an.
3.
Peristiwa Tahkim pada Masa Ali bin Thalib
Konflik politik antara Ali bin Abi
Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyah diakhiri dengan tahkim.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali bin Ibn
Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abu Sufyan karena kecerdikan Amr
Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Pendukung Ali Ibn Abi
Thalib, kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama adalah mereka
yang secara terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali
Ibn Abi Thalib, kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan
Ali Ibn Abi Thalib.
Khawarij tampaknya tidak lagi berada
dalam jalur politik, tetapi berada dalam wilayah atau jalur teologi atau kalam
yang merupakan fondasi bagi keberagamaan umat Islam. Khawarij dinilai keluar
dari wilayah politik karena menilai kafir terhadap orang-orang yang telah
terlibat dan menerima tahkim. Khawarij
tidak lagi dinilai sebagai aliran politik, tetap dianggap sebagai aliran kalam[9].
Pendukung yang fanatik terhadap Ali Ibn
Abi Thalib dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syi’ah. Golongan yang keluar
dari barisan Ali tersebut biasa disebut sebagai Khawarij. Kerepotan khalifah
dalam menyelesaikan kaum Khawarij ini digunakan Muawiyah untuk merebut Mesir.
Padahal, Mesir dapat dikatakan sebagai sumber kemakmuran dan ekonomi dari pihak
Ali.
Akibat pemerontakan dan keluarnya
sebagian pendukung Ali, banyak pengikut Ali gugur dan juga berkurang serta
hilangnya sumber ekonomi dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan
charisma khalifah menurun.
Pemberontakan yang hebat dari Thalhah
dan Zubair memperlemah kedudukan Ali dan memperkuat kekuasaan Muawiyah.
Pemberontakan-pemberontakan terjadi pula di Bashrah, Mesir, dan Persia untuk
mendapatkan kemerdekaa.
Ali hanyalah seorang jenderal dan
seorang prajurit yang gagah berani, sedangkan Muawiyah adalah seorang diplomat
yang licik dan seorang politikus yang pintar. Dengan cerdik, dia memanfaatkan
pembunuhan Khalifah Utsman untuk menjatuhkan nama dan memperlemah Khalifah Ali
dan membantu rencananya. Karena gagal dalam menggunakan pedang, Muawiyah dan
sekutunya menipu dan mengalahkan Khalifah Ali dengan permainan kecerdikan dan
kelicikan di dalam Perang Siffin [10].
Kaum Khawarij merencanakan untuk
membunuh Ali; Muawiyah dan Amar memilih seorang khalifah yang sehaluan dengan
mereka. Karena itu, Abdurrahman, pengikut setia kaum Khawarij, memberikan
pukulan yang hebat kepada Ali sewaktu dia akan adzan di masjid. Pukulan itu
fatal, dan Khalifah Ali wafat pada tanggal 17 Ramadhan 40 H., bertepatan denga
tahun 661 M [11].
Dalam kisah lain diceritakan bahwa
kematian Khalifah Ali diakibatkan oleh pukulan pedang beracun Abdurrahman ibn
Muljam, sebagaimana dijelaskan Philip K. Hitty, bahwa:
“pada tanggal 24 Januari 661, ketika Ali
sedang dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, ia terkena hantaman pedang beracun
di dahinya. Pedang yang mengenai otaknya tersebut diayunkan oleh seorang
pengikut kelompok Khawarij, Abd Ar-Rahman ibn Muljam, yang ingin membalas
dendam atas kematian keluarga seorang wanita, temannya, yang terbunuh di
Nahrawan. Tempat terpencil di dekat Kufah, yang menjadi makam Ali, kini Masyhad
Ali di Najaf, berkembang menjadi salah satu pusat ziarah terbesar dalam agama
Islam.”
[1] Ira M. Lapidus. History of Islamic Societies. Jakarta: Raja
Grapindo Persada
[2] Abd Al-Wahid An-Najjar. 1990. Al-Khulafᾱ Ar-Rasyidin. Beirut:
Dᾱr Al-Kutub Al-Ilmiyat, hlm. 247-248.
[3] . Ath-Thabari, op.cit., hlm.
448-457; Lihat pula Suyuthi Pulungan, op.
cit., hlm. 153.
[4] . Abudin Nata.Ilmu Kalam,
Filsafat, dan Tasafuf. Jakarta: Rajawali Press, 1995, hlm. 14.
[5] Syed Mahmudunnasir, op. cit.
[6] . Ali Mufordi, Loc. cit., hlm.
64.
[7] . Syed Mahmudunnasir, op.
cit., hlm. 145.
[8] Asy Syalab. At-Tarikhu Al-Islami Wa-Alhadlii-ata Al-Islamiyah.
Terj. Prof. Dr. Mubtar Yahya.
[9] . ibid. M. Ali As-Sayis, op. cit.,
[10] . ibid. Syed Mahmudunnasir, op.
cit.,
[11] . ibid. hlm. 149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar