Jika terdapat
cacat pada barang yang dijual, sedang barang tersebut tidak mengalami
perubahan, karena cacat itu terjadi ketika barang berada di tangan pembeli,
maka terkadang cacat tersebut terdapat pada barang tetap (tak bergerak), barang
dagangan yang bergerak, atau hewan. Jika terdapat pada hewan, maka tidak dapat
diperselisihkan lagi, dalam arti si pembeli boleh memilih antara mengemmbalikan
hewan yang dibelinya itu atau mengambil kembali harganya, atau tetap memegangi
barang tersebut dengan tidak memperoleh ganti rugi apapun.
Tetapi jika cacat
tersebut terdapat pada barang tak bergerak, maka dalam hal ini Imam Malik
memisahkan antara cacat yang sedikit dengan cacat yang banyak. Ia berkata bahwa
jika cacat itu sedikit, maka tidak ada keharusan untuk mengembalikan, dan tanpa
klaim kerugian. Tapi jika cacatnya parah, maka pembeli harus mengembalikan
barang-barang itu dengan klaim harga
yang sudah terbayar secara sempurna. Itulah pendapat yang masyhur dan
terdapat pada khithab para pengikutnya. Sedang para ulama Maliki Baghdad tidak
melakukan rincian seperti itu.
Tentang barang
dagangan yang bergerak, maka pendapat yang mahsyur dalam mazhab Maliki
menyatakan bahwa barang tersebut ketentuannya tidak sama dengan barang yang
tidak bergerak (pokok). Tetapi dalam mazhab Maliki disebutkan ulama tentang
kesamaannya dengan barang pokok. Dan inilah yang menjadi pilihan al-Faqih Abu
Bakar bin Rizq, guru nenek saya almarhum.
Ia berkata: bahwa
dalam hal ini tidak ada pemisahan antara barang pokok yang tak bergerak dengan
barang dagangan yang bergerak. Perkataan tersebut merupakan pengkat bagi fuqaha
yang memisahkan antara cacat yang besar dengan cacat yang kecil (sedikit) pada
barang-barang pokok (tak bergerak). Yakni, bahwa dalam hal ini ia juga
melakukan pemisahan seperti itu pada barag-barang dagangan (yang bergerak).
Pada prinsipnya,
semua yang menyebabkan berkurangnya harga harus pula menjadi sebab
dikembalikannya barang. Ini pendapat yang dipegangi oleh fuqaha amshar. Karena
itu para ulama Baghdad tidak memegangi pemisahan yang jarang terjadi pada
baran-barang yang tidak begerak. Dalam masalah hewan, mereka tidak lagi
berselisih pendapat. Yakni tidak ada perbedaan antara cacat yang sedikit dengan
cacat yang banyak.
Karena telah kami
katakan bahwa pembeli dibolehkan memilih antara mengembalikan barang yang telah
dibeli dan mengamil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa
memperoleh ganti rugi apapun. Jika kedua pihak sepakat bahwa pembeli tetap
memegangi barangnya, sedan penjual memberikan gani rugi cacatnya, maka
kebanyakan fuqaha amshar membolehkannya. Kecuali Ibnu Suraij dari kalangan
pengikut Syafi’I yang mengatakan bahwa kedua belah pihak tidak bole melakukan
demikian. Sebab, hal itu termasuk khiyar dalam harta benda. Maka, bagi pembeli
tidak ada pengguguran harta tersebut dengan satu imbalan, seperti khiyar syuf’ah.
Al-Qadhi Abdul Wahhab
berkata bahwa pendapat ini salah, karena yang demikian itu hak pembeli,
konsekuensinya dia berhak menuntutnya. Yakni ia boleh mengembalikan dan
mengambil kembali harganya, dan dia juga boleh membiarkannya dengan mendapat
imbalan dari cacat tersebut. Tentang khiyar syuf’ah yang menurut pendapat kami
pembeli bisa membiarkan barang yang dibelinya dengan imbalan yang diambilnya.
Dan masalah ini tidak diperselisihkan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar