Fajar hampir memamerkan sosok cantiknya, bintang Venus tak lelah
mengalah pada bulatan api dunia. Dekat prempatan jalan telah mengepul asap
dengan harum semerbak. Bunyi percikan kayu dari api juga menandakan irama yang
merdu. Bersiap untuk para pelanggan, dedaunan di jalan yang tak mengubah
namanya, baru saja menyelesaikan gerimiknya setelah tersibak oleh
langkah-langkah cepat anak sekolah. Menandakan terpal depan rumah bersiap rame.
Ibu pemilik terpal meladeni
anak sekolah dan orang-orang yang mau membelinya. Mungkin ibu senang dengan
laba yang didapatnya. Karena dalam pancaran matanya hanya berbinar melihat
saku-saku anak sekolah. Wajar jika ibu begitu, karena semata-mata untuk
kebutuhan rumah tangganya.
Saking asyiknya, saat anaknya
minta saku sekolah, terucaplah suara merdu ibu “Ini nak, saku kamu
sekarang aku tambah 2000. Di hemat-hemat ya”. Jawab tegas sang anak “Iya bu,
nanti aku tabung saja”. Akan kenyataannya dalam benak anak persetan dengan
ucapan itu. Sehingga tak ada kelemahan yang terlihat dalam keluarga itu. Padahal
kemungkaran-kemungkaran terpelihara dalam keluarga itu. Tapi semua sudah
terkonsep dengan rapih sampai tak ada kelemahan yang diketahui oleh keluarga
itu. Inilah kehidupan fatamorgana yang indah saat engkau mengonsepnya. Akan
tetapi kelemahan ini terkuak oleh seorang anak kecil. Anak kecil yang tak punya
apa-apa, tidur diatas trotoar dengan dialas koran dekat terpal ibu penjaja
serabi itu.
Anak kecil dengan perawakan kurus, kulit hitam pekat bak arang kayu
bakar, rambut rapih dengan lusuhan debu, celana pendek warna merah dengan baju
gambar peniti beserta buah kecubung yang menyertai. Sehingga memberi
tanda-tanda ingin mengubah dunia lewat pesan gambar bajunya. Anak tersebut
bernama Samiaji.
Langkah Samiaji dengan menyeret kaki dan menahan perut lapar menuju
terpal penjaja serabi ibu. “Ibu, apa yang bisa bantu agar aku mendapatkan
serabi itu”
Cangkir ibu tak selamanya berwarna hitam. Adakalanya terisi dari
daun-daun muda. Lalu ibu menjawab “Dengan cara itu kau ingin mendapatkan
serabiku, kau tak bisa mendapatkannya, karena serabi itu bisa dibarter dengan rupiah”.
Sesuatu keluar dari air mata Samiaji. Ternyata, sungai yang panjang
ini mengalir lagi dan membasahkan hatinya serta menghapus semua harapan itu.
Samiaji pun teringat pesan yang dibawa temannya. “Samiaji, jangan pernah
menyesali apa yang telah dilenyapkan oleh waktu. Ia tidak akan pernah muncul
kembali. Ia tidak akan pernah kita jumpai lagi karena apa yang telah
dilenyapkan oleh waktu sungguh telah berada pada sebuah tempat yang sangat
jauh. Kamu masih punya waktu untuk menyadarkan siapa yang kau kenali di negri
ini”. Samiaji pun telah mengeringkan sungai panjang yang mengalir di lesung
pipinya. Semangat dengan bara salju muncul untuk kebaikan sesama makhluk
sosial. Samiaji juga tidak menyalahkan ibu penjaja serabi itu, karena pekerjaan
Samiaji pasti ibu penjaja serabi itu bisa melakukannya tanpa perlu bantuan.
Samiaji yang lusuh tak pernah menyerah untuk mencari sesuap makan.
Walau cemoohan banyak ia terima, ia menanggapi dengan senyuman manisnya tanpa
rasa asam sedikitpun. Sampai akhirnya dipedesaan samping rel kereta api, ia
melihat banyak anak-anak mengemis, bermain-main saja. Samiaji pun merasakan
bahwa hidup adalah pertempuran melawan kebodohan dan kesengsaraan. Dengan modal
sekolah sampai kelas 3 SD, Samiaji mengajak anak-anak rel kereta untuk belajar
menghitung, dan membaca. Semuanya senang dengan kedatangan Samiaji. Samiaji
hanya mengandalkan tembok papan dengan arang kayu bakar yang dijadikan alat
mengajar. Tidak ada kata lelah dalam hidup Samiaji, fikiran jernihnya tak
pernah ada debu diatas kaca itu. Samiaji memang anak cerdas hanya nasib yang
tak berpihak, tapi Samiaji juga tidak menyalahkan nasib. Hidupnya bahagia
karena teman dan orang sekelilingnya adalah harta termahal daripada gundukkan
emas.
Samiaji pun otaknya semakin terasah, bisa membeli buku buat
mengajar. Walaupun autodidak, hal ini tidak jadi masalah. Yang terpenting
adalah ketulusan hati dalam pengajaran.
Waktu berjalan dengan cepat, sudah 5 tahun Samiaji mengajar.
Samiajinya tak bosan dengan murid-muridnya. Umur Samiaji sudah 16 tahun.
Akhirnya ada seorang petugas rel kereta mengecek sepanjang rel kereta. Di atas
kereta ada bapak melihat Samiaji mengajar. Disitu bapak tersebut turun dan menyambar
dengan memegang bahu Samiaji.
“Nak aku tahu apa yang dalam fikiranmu, lanjutkan dulu ngajarmu
setelah itu aku mau bertanya-tanya padamu”.
“Ada yang bisa bantu, pak?”. Ujar Samiaji
“Kamu adalah anak yang kucari-cari?”. Jawab bapak
“Apa bapak mengenaliku?
“Kenal, kau adalah anak penuh pengetahuan, cinta, keadilan,
pengabdian, dan kesabaran”. Jawab bapak itu.
“Bagaimana bapak bisa menilaiku begitu? Sedangkan aku baru melihat
bapak”.
“Wajah kamu mewakili gambaran hidupmu, kamu berada dalam kemuliaan.
Kamu ibarat pelangi, dimana hidupmu banyak harapan dengan satu tujuan yang
mulia”. Jawab bapak
“Sebenarnya bapak siapa?”.
“Saya adalah Yana, Kamu pasti tidak tahu tapi suatu saat pasti
tahu”.
“Bagaimana caranya aku mengetahui, sedangkan aku masih mengajar”.
Tanya Samiaji
“Pastinya kau telah mengajari muridmu sejak lama, dan pastinya ada
salahsatu yang cerdas. Semoga kita bisa ketemu lagi 5 hari kedepan. Ini alamat
rumah saya.”
Tanpa pamit salam bapak Yana pergi meninggalkan Samiaji. Samiaji
hanya bisa terbelengu dengan ucapan Yana. Kegelisan muncul dalam diri Samiaji,
disisi lain ia emang mengabdi pada perkampungan daerah rel kereta itu karena
telah makan asam garam disitu. Disamping itu ia ingin mengetahui sosok pak Yana
itu.
Malam menampakkan indahnya bintang kejora, tapi hati gelisah tetap
gelisah walaupun malam itu terasa indah sekali. Samiaji menuju sungai untuk
curhat masalah-masalah yang dialami. Tanpa disadari, Samiaji tak tahu bahwa
dibalik semak-semak ada sesosok bidadari yang mengupingnya. Alam telah
mendengarkan curhatan Samiaji dan disitu pula bidadari menghampiri Samiaji.
Bidadari itu tak lain adalah Dewika atau salah satu murid Samiaji.
“Aku siap menggantimu mengajar, karena hal ini menandakan hidup
bagai rantai makanan yang saling berkelindan. Aku hanya perlu waktu untuk
lancar saat berbicara”. Sahutan Dewika
Kata-kata Dewika membuat hatinya Samiaji merasa sejuk kembali, mata
Samiaji berbinar bagai bulan yang indah itu. Pelukan hangat Samiaji untuk
Dewika pun tak terlepas karena ia senang tak karuan. Ditepi sungai dengan suara
gemericik air, ikan yang kecil-kecil berlarian kesana-kesini menemani mereka
berdua yang saling bertukar fikiran. Begitu indah malam untuk keduanya.
Pagi menjelang dan Samiaji berpamitan untuk mencari pak Yana, semua
warga ikhlas akan kepergiannya, tak perlu disesali. Setiap keputusan pasti ada hukum
sebab-akibat, hal ini menentukan hasil putusan setiap makhluk hidup. Tak
seorang pun luput darinya, kecuali ia berkarya dengan semangat menyembah pada
Yang Maha Kuasa. Samiaji terus mengingat kampung rel. Dengan wajah tertunduk ia
terus membuat sungai-sungai bercabang itu.
Samiaji pun berjalan diantara rel, ia segera mengetahui alamatnya. Pak
Yana adalah sosok yang disegani masyarakat karena keaktifannya dalam
berorganisasi kemasyarakatan. Setelah ketemu Pak Yana yang sedang mengisi
pelatihan dirumahnya, Pak Yana pun menghampiri Samiaji dan memberi pelukan
hangat. Maklum saja, Samiaji tidak pernah mendapatkan pelukan ayah, karena ia
telah ditinggalkan sejak masih dalam kandungan. Ia dikenalkan oleh masyarakat
sekitar dan ia pun dipercayai oleh pak Yana untuk mengajarkan yayasannya.
Samiaji sangat rajin, ia pun juga disegani masyarakat, umurnya
telah menunjukkan 25 tahun. Ia pun tak seganja bertemu pada ibu penjaja serabi
yang pernah mencelanya saat berjalan-jalan mengelilingi kota.
“Ibu bolehkah aku membeli serabinya”. Ucap Samiaji
“Boleh nak, mau beli berapa?”. Jawab ibu dengan muka lesu
“2 bu, yang manis dan yang asin”. Pinta Samiaji
Sambil meladeni Samiaji, Samiaji teringat ibu penjaja serabi.
Samiaji disitu akhirnya bercakap-cakap dengan ibu. Hasilnya ibu itu memiliki
masalah yang besar. Ternyata polemik-polemik masyarakat tersirat menjadi beban
Samiaji. Ia pun menggunakan aling-aling Panyukilan untuk pengabdian masyarakat.
Fikirnya, semua ini mempunyai waktu dari mulanya. Waktu adalah benih dari
segala bidang, sudah tiba saatnya, waktu akan mengambil segalanya sesuai
kehendaknya. Karena kekuatan nasib dan upaya terikat oleh manusia, dan semuanya
bisa mengubahnya.
Kemampuan ia semakin menjadi-jadi setelah Samiaji menikahi Dewika,
sekarang mereka hidup bersama.
Akhirnya dengan berjalannya waktu, hidup berubah dengan lambat,
bagai gurun menjadi sabana. Rakyat sekitar menjadi makmur, kebodohan dan
kesengsaran hilang, begitu pula dengan daerah sepanjang rel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar