Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Selasa, 28 Mei 2013

Aliran Salafiyyah

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Salafiyah
Para pakar banyak yang mengemukakan mengenai definisi salaf dan khalaf. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi shahabat, tabi’i,tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri atas muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulam saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.  Menurut Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’i, dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat allah yang menyerupai segalaga sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.  Sedangkan menurut As-Sahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil(dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (Anthropomorphisme).
Gerakan salafiyah berkembang terutama di Baghdad pada abad ke-13. Pada waktu itu diwarnai fanatisme kalangan kaum Hambali. Sebelum akhir abad ke-3, terdapat sekolah-sekolah Hambali di Jerussalem dan Damaskus. Di Damaskus kaum Hambali makin kuat karena banyak datangnya para pengungsi dari Irak karena serangan Mongol atas Irak. Salah satu pengunsi tersebut ada kelurga Ibn Taimiyah. Ibn taimiyah sendiri merupakan seorang ulama besar penganut Imam hambali yang ketat.
Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiah sebagai berikut:
1.    Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) dari pada dirayah (aql).
2.    Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ ad-din), mereka hana bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan as-Sunnah.
3.    Mereka mengimani allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Na) dan tidak pula mempunyai faham anthromorphisme.
4.    Mereka memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk menkwilkannya.
Secara kronologis salafiyah mulanya berasal dari Imam ahmad bin Hanbal. Lalu, ajarannya mulai dikembangkan oleh Imam Ibn taimyah, kemudian terpesatkan oleh muhammad bin Abdul wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis. Di Indonesia, gerakan ini berkembang pada kalangan Persis( Persatuan Islam) dan Muhammadiyah.

B.    Tokoh Salafiyah
1.    Imam Ahmad bin Hanbali
a.    Riwayat Singkat Hidupnya
Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 64 H/780 M, beliau meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena anakna bernama Abdillah. Akan tetapi lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena beliau pendiri madzhab Hanbali.
Pada usia 16 tahun, ia  belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Khufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, dan Madinah. Dan guru-gurunya adalah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliah, muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Abdul Rozaq bin Humam, dan Musa bin Tariq. Dari gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadis, tafsir, kalam, ushul, dan bahasa Arab.
Ibn Hanbal juga dikenal sebagai seorang zahid, karena hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar dimalam hari. Ia juga dikenal dermawan.
Diantara murid-murid beliau adalah Ibn taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, Abu bakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua orang yang terakhir adalah putra Ibn Hanbal.

b.    Pemikiran Teori Ibn Hanbal
a.    Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat Al-Quran, beliau lebih menerapkan konsep pendekatan lafdzi (tekstual) daripada menggunakan pendekatan ta’wil, terutama dalam kaitannya tentang sifat-sifat Allah dan ayat-ayat mutasyabihat. Dalam penafsirannya terdapat pada surat Toha ayat 5:


“(Yaitu) Allah yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”
Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab:


“Istiwa di atas arsy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna Hadits nuzul( Allah turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Allah di akhirat), dan Hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab:


“Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, Ibn Hanbal bersikap menyerahkan makna-makna ayat dan Hadits mutasybihat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan beliau menyucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Beliau sama sekali todak menakwilkan pengertian lahirnya.


b.    Tentang Status Al-Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal adalah tentang status Al-Quran sehingga beliau dipenjara beberapa kali. Karena pada saat itu faham yang diakui oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyyah adalah Al-Quran merupakan bersifat tidak qadim, tetapi baru diciptakan. Hal ini sama dengan menduakan Allah, padahal menduakan Allah adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Allah.
    Ibn Hanbal tidak sepakat dengan paham Dinasti abbasiyah, kemudian beliau diuji dengan kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Salah satu dari dialog yang terjadi antara Ishaq Ibn Ibrahim, Gubernur Irak dengan ahmad Ibn Hanbal berjalan sebagai berikut:
Ishaq        : apa pendapatmu tentang Al-Quran?
Ibn Hanbal        : Sabda Tuhan.
Ishaq        : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal        : Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
Ishaq    :Apa arti ayat: Maha mendengar (sam’i) dan Maha   Melihat (Basir)? (Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang faham anthropomorphise).
Ibn Hanbal    : Tuhan menyifati diri-Nya (dengan kata-kata itu).
Ishaq    : Apa artinya?
Ibn Hanbal    : Tidak tahu, Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan pada diri-Nya.
Beliau tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Quran. Beliau hanya beranggapan bahwa Al-Quran tidak diciptakan. Dan beliau menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat allah kepada Allah dan rasulnya.

2.    Ibn Taimiyah
a.    Riwayat singkat hidupnya
Nama lengkap beliau adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Beliau lahir di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan wafat di penjara pada malam senin 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Saat beliau wafat seluruh penduduk Damaskus, Mesir, dan Syam, serta kaum muslimin telah digetarkan dadanya. Ayahnya bernama Sihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdillah bin Taimiyah, seorang Saikh, Khatib dan hakim dikotanya.
    Ibrahim madzkur bahwa Ibnu taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim. Karena tidak memberikan ruang gerak pada akal. Seorang murid yang muttaqi, wara’, dan zuhud. Ia juga terkenal sebagai muhadits mufassir, faqih, teolog, dan seorang ahli filsafat. Ia pernah mengkritik kholifah umar dan kholifah ali abi thalib dan menyerang al-Ghozali dan Ibn Arabi. Seubah kritikannya memicu kemarahan para ulama sezamannya. Dan sering masuk penjara karena sering berselisih dengan ulama se zamannya.
    Terkenal cerdas pada usia 17 tahun telah dopercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangannya tentang masalah hukum secara resmi dinyatakannyya bahwa pemikirannya sebagai klenik, anthropomormisme sehingga pada awal 1306 M. Ia dipanggil ke kairo kemudian dipenjara.
b.    Pemikiran teologi Ibnu taimiyah
        Pikiran-pikiran utamanya Ibn Taimiyah sebagai berikut :
a.    Sangat berpegang teguh pada nas (teks Al-Quran dan Al-Hadits).
b.    Tindak memberikan ruang bebas pada akal.
c.    Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung sumber agama.
d.    Di dalam Islam diteladani hanya tiga generasi (Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’i Tabi’in).
e.    Allah memiliki tidak memberikan sifat yang bertentangan dengan tauhid dan tetap metanzihkannya.

Berikut ini  merupakan pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat Allah:
a.    Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifatinya. Sifat-sifat ang dimaksud adalah:
1.    Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyah
2.    Sifat ma’ani, yaitu qudrah, iradah, sama’, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
3.    Sifat khabariyah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Haditswalaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menatakan Allah di langit, Allah di atas Arsy, Allah turun ke langit dunia, Allah dilihat oleh orang beriman di surga kelak, wajah, tangan dan mata Allah.
4.    Sifat dhafiah, meng-idhafatkan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, seperti rabb al-alamin, khaliq al-kaun, dan falik al-hubb wa al-nawa.
b.    Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, az-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.
c.    Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1.    Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafaz (min ghair tahrif).
2.    Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghair ta’thil).
3.    Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad).
4.    Tidak menggambar-gambarkan Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghair takif at-takyif).
5.    Tidak menyerupai(apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifa makhluk-Nya (min ghair tamtsil rabb al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menamai-Nya, bahkan menyerupai-Nya pun tidak ada.
Menurut alasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Ibn Taimiyah tidak menyetujui ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat Al-Quran dan Al-Hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima apa adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupai-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ada tiga hal yang diakui Ibn Taimiyah dalam masalah keterpaksaan dan iktisar manusia, yaitu :
a.    Allah pencipta segala sesuatu.
b.    Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
c.    Allah meridai perbuatan baik dan tidak meridai perbuatan buruk.
Masalah pokok Ibn Taimiyah yaitu membedakan manusia dengan Allah secara mutlak. Oleh sebab itu, masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat dan teologi. Dan sifat mistis antara menyatunya Tuhan dengan manusia adalah hal yang mustahil. Ibn Taimiyah sangat tudak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Quran berisi dalil khitabi dan iqna’i ( penenang dan pemuas hati), aliran Mu’tazilah yang selalu mengedepankan akal atau rasional terlebih dahulu daripada dalil Al-Quran. Sehingga banyak menggunakan ta’wil.






 


Tidak ada komentar: