Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Selasa, 28 Mei 2013

Ilmu Jarh wa Ta'dil


A.    Sejarah Ilmu jarh wa ta’dil
Secara bahasa, al-jarh merupakan masdar dari kata jaraha – yajrahu yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Secara istilah, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai  sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Sedangkan kata at-ta’dil secara bahasa berasal dari al-adl yang berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus. Dan secara istilah at-ta’dil berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.
Ilmu jarhi wat ta’dil pada hakikatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadist. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmu al-Jarh wa at-Takdil ialah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ الرُّوَاةِ وَتَعْدِيْلِيْهِمْ بِاَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَاتِبِ تِلْكَ الاَلْفَاظِ
“Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.”
Mencela para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak dari zaman sahabat.
Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab Al-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Diantara para sahabat yang menyebutkkan keadaan perawi-perawi hadist ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas Ibnu Malik (93 H).
Diantara tabi’in ialah Asy Syabi (103 H), Ibnu Sirin (110 H), Said Ibnu Al-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadist, adakalanya karena me-rafa-kan hadis yang sebenarnya mauquf, dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun Al-Abdari (143 H).
Sesudah berakhir masa tabi’in, yaitu pada kira-kira tahun 150 Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menakdil dan menajrihkan mereka. Diantara ulama besar yang memberikan perhatian pada urusan ini, ialah Yahya Ibnu Said Al-Qattan (189 H), Abdur Rachman Ibnu Mahdi (198 H) sesudah itu Yazid Ibnu Harun (189 H), Abu Daud At-Tahyalisi (204 H), Abdur Razaq ibn Human (211 H). Sesudah itu, barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan takdil. Didalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Diantara pemuka-pemuka jarh dan takdil ialah Yahya Ibnu Main (233 H), Ahmad Ibnu Hanbal (241 H), Muhammad Ibnu Saad (230 H), Ali Ibnu Madini (234 H), Abu Bakar Ibnu Syaibah (235 H), Ishaq Ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H), Al-Bukhari (256 H), Al-Ajali (261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi Ibnu Makhlad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).
Dan terus berlanjut pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampailah kepada Ibnu Hajar Al ‘Asqalany (852 H).
B.     Kitab-kitab Jarh dan Ta’dil
Kitab-kitab yang disusun mengenai jarh dan ta’dil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang mena’dilkan Hadist, dan ada pula yang melengkapi semuanya. Disamping itu, ada yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.
1.    Kitab-kitab yang melengkapi orang-orang kepercayaan dan orang-orang lemah
Kitab-kitab yang melengkapi orang-orang kepercayaan dan orang-orang lemah. Diantara kitab yang melengkapi semua itu, ialah Kitab Thabaqat Muhammad ibn Sa’ad Az-Zuhry Al Bashary (230 H). Kitab ini sangat besar, didalamnya terdapat nama-nama sahabat, nama-nama tabi’in dan orang-orang sesudahnya.
Kemudian, beberapa ulama besar lain pun berusaha, diantaranya Ali Ibnul Adiny (234 H), Al Bukhary, Muslim, Al Harawy (301 H) dan Ibnu Abi Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi ahli Hadist dan fiqh ialah At Takmil susunan Al Imam Ibnu Katsir.

2.    Kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercaya saja
Diantaranya Kitab Ats Tsiqat, karangan Al ‘Ajaly (261 H) dan Kitab Ats Tsiqat karangan Abu Hatim Ibn Hibban Al Busty.
3.    Kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghafal-penghafal Hadist
Diantaranya Adz Dzahaby, Ibnu Hajar Al ‘Asqalany dan As Sayuthy.
4.    Kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja
Diantaranya Kitab Adl Dlu’afa karangan Al Bukhary dan Kitab Adl Dlu’afa karangan Ibnul Jauzy (597 H).
5.    Kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang mentadliskan hadist
Diantaranya Kitab At Tabyin, karangan Ibrahim Ibn Muhammad Al Halaby (841 H). Yang pertama menyusun kitab ini ialah Al Imam Husain Ibn ‘Ali Al Karabisy (248 H).
6.    Kitab-kitab yang disusun mengenai perawi-perawi dalam kitab-kitab yang tertentu
Diantaranya kitab yang menerangkan perawi-perawi Al Bukhary karangan Ahmad Ibn Muhammad Al Kalabaday (398 H), dan kitab yang menerangkan perawi-perawi Muslim karangan Ibnu Manjaweh (428 H).  Diantara kitab yang mengumpulkan perawi-perawi dalam kitab enam ialah Abu Muhammad Abdul Ghany Al Maqdisy (660 H), kitabnya bernama Al Kamal. Kitab tersebut disunting kembali oleh Al Mizzy (742 H). Kemudian kitab itu direvisi oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib.
7.    Kitab-kitab yang menerangkan tanggal-tanggal wafat para muhadditsin
Abu Sulaiman Muhammad Ibn Abdillah (234 H) adalah orang yang pertama kali menulis kitab ini. Kemudian dilanjutkan oleh Al Kattany (466 H). Dan kitab tersebut dilanjutkan kembali oleh beberapa ahli sampai kepada lanjutan yang dibuat oleh Zainuddin Al ‘Iraqy (806 H).
8.    Kitab-kitab yang menerangkan nama-nama, kuniah-kuniah, dan laqab-laqab
Diantaranya kitab yang menerangkan kuniah-kuniah ialah Adz Dzahaby, dan diantara yang menyusun kitab yang menerangkan laqab-laqab ialah Abu Bakar Asy Syirazi (407 H), Ibnul Jauzy (597 H), dan Ibnu Hajar Al Asqalany. Diantara nama-nama dan keturunan-keturunan, ada yang serupa tulisannya tetapi berlainan sebutannya seperti Salam dan Sallam. Ini dinamai Mu’talif dan Mukhtalif. Diantaranya pula ada yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan orang seperti Al Khalil Ibn Ahmad, nama untuk beberapa orang. Ini dinamai muttafiq dan muftariq.
Ada pula nama-nama sama rupa tulisan dan ucapan, tetapi berlainan ayah atau keturunan dalam sebutan, serupa dalam tulisan seperti Muhammad Ibn ‘Aqil dan Muhammad Ibn ‘Uqail.
Dalam bermacam-macam kitab ini, diantara yang menyusun macam pertama ialah Abu Ahmad Al ‘Askary (283 H) dan Abdul Ghany Ibn Sa’id (409 H). Dan diantara yang menyusunnya pula ialah Ali Ibn ‘Utsman Al Maradiny (750 H). Diantara yang menyusun macam yang kedua dan macam yang ketiga ialah Abu Bakar Ahmad Al Khatib.
9.    Kitab-kitab yang menerangkan penghafal yang rusak fikiran di kala telah tua
Diantara ulama yang menyusun kitab ini ialah Al Hazimy, dan diantaranya pula Burhanuddin Ibnul ‘Ajamy (841 H). Kitabnya bernama Al Ightibath Billma’rifati man rawa bil Ikhtilath. 



C.    Ketentuan Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil
1.    Tata tertib ulama al-jarh wa at-ta’dil
Ada beberapa tata tertib yang perlu diperhatikan oleh ulama Jarh Wa Ta’dil, diantaranya yaitu: 
a.    Bersikap obyektif dalam tazkiyah
Ia meninggikan seorang rawi dari martabat sebenarnya dan juga merendahkannya sesuai dengan sebenarnya.
b.    Tidak boleh menjarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyari’atkan
c.    Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya. Sikap seperti ini, berarti telah merampas hak rawi .
d.    Tidak boleh menjarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh, karena hukumnya disyari’atkan
Para ulama mencelah perbuatan yang berlebihan dan melarang serta memperingatkan bahwa perbuatan itu adalah suatu kesalahan. Mereka beranggapan bahwa menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh adalah tanda kesempurnaan pengetahuan mereka, sehingga tercipta tradisi yang jelek.
2.    Sifat-sifat yang menyebabkan seorang rawi dinilai Jarh
Seorang ahli hadits tidak dapat di terima periwayatnya apabila mereka mempunyai sifat yang dapat mengurangi keadilannya, sehingga periwayatannya tidak bisa diterima. Sifat-sifat tersebut antara lain :
a.    Dusta
Dusta yang dimaksud adalah orang yang pernah berbuat dusta terhadap sesuatu atau beberapa Hadits. Seperti membuat Hadits palsu dan bersaksi palsu, kecuali ia telah bertaubat.


b.    Tertuduh berbuat dusta 
Yang dimaksud adalah seorang perawi sudah dikenal kalangan masyarakat sebagai orang yang dusta dan apabila periwayatnya ingin di terima ia harus betul-betul tobat sehingga masyarakat tidak lagi menuduhnya sebagai pendusta.
c.    Jahalah
Yang dimaksud jahalah ialah perawi Hadits itu tidak diketahui kepribadiannya, apakah ia seorang yang telah tercacat (jarh).
d.    Ahli bid’ah
Yaitu perawi yang tergolong melakukan bid’ah dalam hal I’tikad yang menyebabkan ia kufur sehingga riwayatnya di tolak.
e.    Hukum men-jarh seorang perawi
Men-jarh tidaklah termasuk mengumpat atau mencela orang lain, melainkan dianggap sebagai nasihat yang harus diterima dengan lapang dada dan sesuatu yang kita lakukan demi kepentingan agama.
3.    Syarat-syarat bagi orang yang men-jarh dan men- ta’dil
Seorang ulama jarh wa ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya dalam upaya menguak karakteristik para periwayatannya. Syarat-syaratnya antara lain:
a.    Berilmu pengetahuan
b.    Bertakwa
c.    Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat)
d.    Jujur
e.    Menjauhi fanatic golongan
f.    Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan men-jarhkan




D.    Manfaat Ilmu Jarh wa Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi dapat diterima atau ditolak. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi. Dengan mengetahi ilmu al-jarh dan at-ta’dil kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan. Ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
E.    Pertentangan antara Jarh wa Ta’dil
Terkadang, pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian men-jarh kannya, sebagian lain men-ta’dil kan. Bila keadaanya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
1.    Al-jarh harus didahulukan secara mutlak, walawpun jumah mu’adil-nya lebih banyak dari pada jarh-nya. Sebab, jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil, dan kalau jarh dapat membenarkan mu’tadil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarh memmberitakan urusan batiniah yang tidak diketahui oleh si mua’dil.
2.    Ta’dil didahulukan dari pada jarh, bila yang men-ta’dil kan lebih banyak karena banyaknya yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj al-khatib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil, meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tarjih.
3.    Bila jarh dan ta’dil bertentangan, slah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan  salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat diantara keduanya.
4.    Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tarjih-kan.

F.    Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan cara :
1. Dengan kepupuleran dikalangan para ahli bahwa ia dikenal sebagai seorang yang adil (bisy-syuhrah) sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya
2.    Dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil yang semula rawi yang di-ta’dilkan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu :
1.    Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu di persoalkan sehinggga tidak di ragukan lagi kecacatannya
2.    Berdasarkan penjarhannya dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat.

Tidak ada komentar: