Trus Karya Tataning Bumi

Wikipedia

Hasil penelusuran

Penelusuran

Translate

Selasa, 28 Mei 2013

Hubungan Pengusaha dan Pekerja

BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur adalah salah satu tujuan dari bangsa  Indonesia dalam kemerdekan. Oleh karena itu negara mempunyai suatu kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan secara adil. Salah satu instrumen perwujudan keadilan dan kesejahteraan itu ialah salah satunya ialah hukum. Melalui hukum, negara berupaya mengatur hubungan-hubungan antara orang perorang atau antara orang dengan badan hukum. Pengaturan ini bermaksud supaya jangan ada penzaliman dari yang lebih kuat kepada yang lemah, sehingga tercipta suatu keadilan dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat kita.
Salah satu peraturan yang dibuat oleh pemerintah adalah peraturan yang mengatur hubungan seseorang didalam dunia kerja. Oleh sebab itu hubungan kerja antara seorang pekerja dengan majikannya atau antara pekerja dengan badan usaha perlu diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yang bisa merugikan dari salah satu pihak.
        Pemerintah telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan dalam UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dengan tujuan keadilan yang makmur dan sejahtera.
       Salah satu permasalahan yang dimana sering muncul dalam hubungan kerja adalah permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berakhirnya hubungan kerja bagi tenaga kerja berarti kehilangan mata pencaharian yang berarti pula permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketentraman hidup tenaga kerja seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi dalam kenyataannya membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian hubungan kerja
           Menurut  UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
           Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa hubungan kerja dapat terjadi akibat adanya perjanjian kerja baik perjanjian itu dibuat secara tertulis maupun secara lisan. Menurut pasal 1 point 14 UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja  yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Sahnya perjanjian harus memenuhi syarat yang diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan, pada Pasal 52 ayat (1) UUK menyebutkan 4 dasar perjanjian kerja, yaitu:
1.   Kesepakatan dari kedua belah pihak;
2.   Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3.   Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
          Syarat 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada pihak yang berwenang. Sedangkan syarat 3 dan 4 apabila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, tidak sah sama sekali.
          Dengan adanya hubungan kerja, maka pihak pekerja berhak atas upah sebagai imbalan dari pekerjaannya, sedangkan majikan/pengusaha berhak atas jasa/barang dari pekerjaan si pekerja tersebut sesuai dengan perjanjian kerja yang disepakati. Pemutusan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Melainkan ada hal-hal tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak supaya PHK itu tidak mencederai rasa keadilan diantara kedua belah pihak. Berikut ini akan diuraikan tentang PHK dan penyelesaiannya.
           Pengertian Hubungan Kerja, Pada dasarnya, hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.
B.    Pengertian hubungan kerja menurut para ahli
1)    Definisi hubungan Kerja Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. 
2)     Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu. 
3)    Kemudian menurut imam soepomo menyatakan bahwasannya hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan yaitu suatu perjanjian yang dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak lainnya (majikan) yang mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh itu dengan membayar upah kepada pihak lainnya ( buruh ).
Jadi dapat disimpulkan dari berbagai perdapat mengenai pengertian hubungan kerja, yaitu  suatu hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul adanya pejanjian kerja yang disepakati dalam  jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu dengan disertai serat terima upah dari pihak pengusaha atas usaha yang diselesaikannya.
C.    Hal-hal yang meliputi hubungan kerja
Pada dasarnya hal-hal yang meliputi hubungan tenaga kerja meliputi:
1)    Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja)
2)    Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut)
3)    Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah)
4)    Berakhirnya Hubungan Kerja
5)    Cara Penyelesaian Perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan
D.    Pemutusan hubugan kerja ( PHK )
Pemutusan bubungan kerja tidak boleh dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang, akan tetapi PHK hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan tertentu setelah diupayakan bahwa PHK tidak perlu terjadi. Dalam pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut:
1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
2)  Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Berdasarkan ketentuan UU Ketengakerjaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa PHK merupakan opsi terakhir dalam penyelamatan sebuah perusahaan. UU Ketenagakerjaan sendiri mengatur bahwa perusahaan tidak boleh seenakanya saja memPHK karyawannya, terkecuali karyawan/pekerja yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran berat dan dinyatakan oleh pengadilan bahwa sipekerja dimaksud telah melakukan kesalahan berat yang mana putusan pengadilan dimaksud telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal ini sebagaimana di atur dalam  pasal  158 UU No. 13 Tahun 2003, yang menyebutkan sebagai berikut:
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan uang milik perusahaan
b) Memberikan keterangan palsu sehingga merugikan perusahaan
c) Meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan mengedarkan narkotika dan zat lainnya di lingkungan kerja
d) Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja
e) Menyerang, menganiaya, mengancam, teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja
f) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
g) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan
h) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalamkeadaan bahaya di tempat kerja
i) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara
j) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Dalam pasal 158 ayat (2) juga disebutkan bahwa apabila pengusaha ingin melakukan PHK terhadap pekerjanya yang melakukan pelanggaran berat, maka pelanggaran berat tersebut harus bisa dibuktikan dengan 3 pembuktian berikut ini:
(1).  Pekerja/buruh tertangkap tangan,
(2).  Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
(3). Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi,
Pasal 53 UU No. 13 Tahun 2003 juga menetapkan bahwa seorang pengusaha/perusahaan tidak boleh melakukan PHK terhadap karyawannya/pekerjanya hanya dengan alasan sebagai berikut:
(a). Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
(b) Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
(c). Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
(d). Pekerja/buruh menikah;
(e). Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
(f). pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
(g). pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
(h) pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwaji mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
(i). karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
(j).  pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
E. Jenis PHK
Dalam literature hukum ketenagakerjaan, dikenal adanya beberapa jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni :
1.    PHK oleh majikan/pengusaha;
PHK ini bisa terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
a. PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
b. PHK karena pekerja/buruh (setelah) ditahan pihak berwajib selama 6 (bulan) berturut-turut disebabkan melakukan tindak pidana di luar perusahaan
c.   PHK setelah melalui SP (surat peringatan) I, II, dan III
d. PHK oleh pengusaha yang tidak bersedia lagi menerima pekerja/buruh (melanjutkan hubungan kerja) karena adanya perubahan status, penggabungan dan peleburan perusahaan
e. PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan bukan karena perusahaan mengalami kerugian
f.  PHK karena mangkir yang dikualifikasi mengundurkan diri
g. PHK atas pengaduan pekerja/buruh yang menuduh dan dilaporkan pengusaha (kepada pihak berwajib) melakukan "kesalahan" dan (ternyata) tidak benar
h. PHK karena pengusaha (orang-perorangan) meninggal dunia
2.  PHK oleh pekerja/buruh;
PHK oleh pekerja/buruh bisa terjadi karena alasan sebagai berikut:
a.  PHK karena pekerja/buruh mengundurkan diri
b. PHK karena pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan adanya perubahan status, penggabungan, peleburan dan perubahan kepemilikan perusahaan
c. PHK atas permohonan pekerja/buruh kepada lembaga PPHI karena pengusaha melakukan "kesalahan" dan (ternyata) benar
d. PHK atas permohonan P/B karena sakit berkepanjangan, mengalami cacat (total-tetap) akibat kecelakaan kerja
3.  PHK demi hukum;
PHK demi hukum bisa terjadi dengan alasan/sebab sebagai berikut:
a. PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan mengalami kerugian
b.  PHK karena pekerja/buruh meninggal
c.  PHK karena memasuki usia pensiun
d. PHK karena berakhirnya PKWT pertama
4.  PHK oleh pengadilan (PPHI)
PHK oleh Pengadilan bisa terjadi dengan alasan/sebab:
a. PHK karena perusahaan pailit (berdasarkan putusan Pengadilan Niaga)
b. PHK terhadap anak yang tidak memenuhi syarat untuk bekerja yang digugat melalui lembaga PPHI
c.  PHK karena berakhirnya PK
F. Perselisihan PHK dan Penyelesaiannya
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial, Menurut Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang dimaksud dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Adapun mekanisme penyelesaian sengketa PHK adalah melalui jenjang penyelesaian sebagai berikut:
1.    Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI.
Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
2.    Perundingan Tripartit
Perundingan tripartit maksudnya adalah perundingan antara pekerja, pengusaha dengan melibatkan pihak ketiga sebagai fasilitator dalam penyelesaian perselisihan industrial diantara pengusaha dan pekerja. Perundingan tripartit bisa melalui:
a.    Mediasi
     Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b.    Konsiliasi
     Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
c.    Arbitrase
        Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung.


3.    Pengadilan Hubungan Industrial
Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya:
a.  Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak;
b.  Perselisihan kepentingan; dan
c.  Perselisihan antar serikat pekerja.
4.  Kasasi (Mahkamah Agung)
Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.
G. Kompensasi PHK
Apabila PHK tidak dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang pesangon, penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan pendapatan.
Berdasarkan pasal 156 ayat (2) dan ayat (3), maka besaran kompensasi bagi pekerja yang di PHK didasarkan atas perhitungan sebagai berikut:
1.    Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
2.    Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :
a.  Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah
e.  Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f.  Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g.  Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h.  Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i.    Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
3. Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.  Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.    Hubungan Kerja, yaitu  suatu hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul adanya pejanjian kerja yang disepakati dalam  jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu dengan disertai serat terima upah dari pihak pengusaha atas usaha yang diselesaikannya.
2.    4 Dasar perjanjian kerja, yaitu:
a.    Kesepakatan dari kedua belah pihak;
b.    Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.    Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.    Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.    PHK dapat dilakukan apabila alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a.    Melakukan penipuan, pencurian dan memberikan keterangan palsu
b.    Meminum minuman keras yang memabukkan
c.    Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja
d.    Menyerang, menganiaya, dan mengancam teman kerja di perusahaan
e.    Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
f.    Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara
4.    Jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni :
a.    PHK oleh Majikan/Pengusaha
b.    Phk oleh Buruh/Pekerja
c.    PHK Demi Hukum
d.    PHK oleh Pengadilan


DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Keputusan Mahkamah Konstitusi RI, Perkara Nomor 012/PUU-1/2003.
Umar Kasim, Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja, Vol. 2.Informasi Hukum. jakarta:2004
Hartono, Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992)
Tjepi F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan ke-11, (Jakarta: BPHN, 1996
http://agussalamnasutionmandailing.blogspot.com.makalah-hukum-pemutusan-hubungan-kerja. Diunduh pada tanggal 4/17/2013. Pukul 20:56
Asri Wijayanti, Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena Melakukan Kesalahan Berat, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/03/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-yang-di.html, diunduh pada tanggal 15/04/2013.pukul 22.00
Yuhari Robingu, Hak Normatif Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja, ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/291/303.tanggal 17/04/2013.pukul 22.34



.

   



Tidak ada komentar: